Bab 11

11.5K 912 81
                                    

Arvin tersenyum simpul melihat kemenangan dari sorot mata Rama. Tanpa sadar, ia memasukkan tangan ke saku celana dan mengangguk. Walaupun begitu, dokter muda itu tetap memasang ekspresi sopan ke arah ayah dan kakak Rania. "Iya, Mas. Hubungan pertemanan."

Ayah Rania tersenyum, kemudian menepuk pundak Arvin beberapa kali sebelum meninggalkan pria itu bersama anak pertamanya.

"Yakin mau temenan sama Rania?" Rama masih saja melemparkan candaan.

"Iya, Mas."

Rama maju satu langkah dan berbisik, "Hati-hati, anak itu kalau udah deket sama orang, sukanya ngerepotin. Apalagi sekarang sakit kayak gini, manjanya nggak ketulungan."

Senyuman Arvin semakin lebar. "Bagus kalau begitu, Mas. Saya merasa berguna jadi temannya."

"Aneh. Kalian itu beneran temenan atau pacaran?" Rama meninggalkan Arvin. Rasa tak percaya itu masih menghantuinya. Baru kali ini ia bertemu Arvin, tapi malah mengendurkan sikap siaga. Biasanya, ia akan ketat menyeleksi para pria yang mendekati Rania.

**

Arvin memasuki ruang rawat Rania. Pasien yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak malam tadi nyatanya masih tertidur pulas. Namun, ekspresi Arvin mendadak muram. Lebam di dagu dan pipi Rania mengundang rasa iba. Padahal, gadis itu biasanya tampil cerah ceria bahkan sembrono.

Perlahan Arvin menutup pintu.

"Kamu datang?" Pertanyaan itu terlontar sembari Rania mengerjap. Gadis itu terbangun karena wangi parfum Arvin yang entah mulai kapan sudah mampu ia kenali dan... ia sukai. Sesekali Rania juga meringis ketika menggerakkan tubuhnya.

"Iya." Arvin berjalan mendekat dan mengecek kondisi Rania. "Gimana rasanya?"

"Lebih nggak keruan dibanding semalem." Rania layaknya anak kecil yang tengah mengadu pada sang ayah.

Setelah duduk, Arvin hanya mengangguk. Ia sangat mengerti efek dari kecelakaan yang Rania alami. Pandangannya kemudian mengedar dan dengan santai Arvin bertanya, "Di mana keluargamu?"

"Mas Rama antar Kania pulang. Ibu lagi di jalan katanya." Rania menerjap ketika tatapannya bertemu dengan tatapan milik Arvin yang tampak bening pagi ini. "Omong-omong, kamu mau nggak orderin aku makanan? Aku laper."

"Sebentar lagi makanan akan diantar," balas Arvin sembari mengecek kondisi Rania. Tangannya terhenti saat menemukan luka berdarah di telapak tangan kanan Rania yang tidak diperban. "Kamu nggak bilang ke petugas medis kalau telapak tangan kamu masih berdarah?"

Kening Rania berkerut. Gadis itu memperhatikan telapak tangan yang dimaksud Arvin. Namun, ia tidak berani menggerakkan tangan kanannya yang katanya retak ringan itu. "Aku nggak tau kalau berdarah lagi. Nggak kerasa."

Mendengar hal itu, Arvin menghela napas panjang kemudian beranjak dan berjalan keluar. Rania pun berangsur duduk. Tak lama, dokter muda itu kembali dan dengan telaten membersihkan serta mengobati luka di telapak tangan Rania yang kini sibuk merintih. Sesekali Arvin melirik ke wajah Rania dan menunjukkan tatapan jengkel. "Katanya nggak kerasa tadi, kenapa sekarang malah ngerintih-rintih begitu, Kiran?"

"Jangan panggil aku pakai panggilan itu!" Rania langsung cemberut dan menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit ketika Arvin membalut luka di telapak tangannya.

"Aku semalem dengar kamu dipanggil gitu," balas Arvin santai seolah tidak melihat kejengkelan di wajah Rania. Pria itu kini menyibukkan diri membereskan peralatan medis yang sempat ia gunakan.

"Tapi aku nggak suka!" Tiba-tiba Rania mengerjap. Ia sadar menggunakan intonasi yang terlalu tinggi dan kini tidak berani beradu pandang dengan Arvin. "Rasanya aku dipaksa balik ke masa lalu kalau dipanggil pake nama itu."

Arvin mengangguk, kemudian duduk merapikan selimut yang menghangatkan tubuh Rania. "Jadi dulu nama panggilan kamu Kiran, terus karena ada masalah sama cowok semalem, kamu ganti pakai Rania?"

"Nggak." Rania menghela napas panjang. Tatapannya bertemu dengan tatapan Arvin yang santai nan hangat. "Sejak kecil dipanggil Rania. Cuma, guru-guru di SMA manggilnya Kiran, salah satunya ibunya Lingga. Sampai banyak hal terjadi, aku benci denger nama Kiran diucapin sama keluarganya Lingga dan orang lain."

Rania menangkap tatapan dukungan dari Arvin dan ini membuatnya makin nyaman dengan pria itu. Ia ingat, Arvin menempatkannya dalam posisi yang penting. Bagaimana tidak, pria itu datang tengah malam untuk memastikan kondisinya. Bagi Rania, itu benar-benar mengena di hati. Mengingatnya saja, Rania jadi terharu dan ingin menangis.

"Nangis aja kalau kamu mau." Tatapan Arvin benar-benar menghipnotis Rania.

Gadis itu menangis. Tangan kirinya buru-buru menutup wajah. Tidak menyangka jika ia akan menangis di depan orang yang sangat baru ia temui ini. Rasa malu benar-benar merasukinya. Dan kini, yang tidak Rania duga, Arvin berdiri dan menarik kepalanya ke dalam pelukan. Ia bahkan bisa mendengar detak jantung Arvin yang menenangkan. Ini bener-bener romantis. Rasanya... beda banget dari pelukan Lingga.

"Kenapa kamu baik banget sama aku?" tanya Rania di sela tangisnya.

Nyatanya, itu adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab Arvin. Pria itu hanya mematung sambil mengedipkan mata kemudian melepaskan pelukan. Kenapa? Arvin mengulang kata itu untuk menemukan jawaban. Ia merasa IQ-nya terjun bebas, sama sekali tidak menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Karena, dirinya pun tak tahu alasan melakukan banyak hal untuk Rania. Ini rekor pertamanya.

"Dokter Arvin?"

"Aku nggak tahu." Arvin jujur.

Mata Rania menyipit. Bukan itu jawaban yang ia tunggu. Dan untuk menutupi kekecewaannya, Rania bergumam, "Ya karena aku pasien, lah." Kekehannya menyusul disertai tatapan jail.

Arvin tersenyum. Bukan cuma itu. Rasa bersalah dan... rasa ingin tahu. "Karena kita kenal."

"Alibi yang kurang kuat." Rania masih tersenyum. Gadis itu pun segera mengubah ekspresi saat terlintas sebuah ide nakal. "Dokter Arvin, boleh aku minta tolong sekali lagi?"

Arvin hanya menatap Rania dan tatapan gadis itu benar-benar penuh permohonan serta keputusasaan. Arvin bahkan dengan jelas merasakannya.

Seiring waktu bergulir dan semuanya masih di posisi yang sama, Rania mendongak. Mereka bertatapan. Seolah saling merapalkan mantra, tatapan keduanya melembut dan jarak wajah mereka makin terkikis. Pelan. Pelan. Rania memejamkan mata setelah Arvin sedikit memiringkan kepala. Mata Arvin tertutup tepat ketika bibir keduanya bersentuhan. Lembut, mereka melakukan semua itu dengan penuh kelembutan.

Tanpa sadar Arvin membuat Rania telentang dan dirinya membungkuk untuk terus melanjutkan kontak manis mereka. Dari ciuman, berlanjut sentuhan. Tangan Arvin bergerak menyusuri pinggang Rania. Saking terhanyutnya, pria itu menyenggol lengan Rania yang cidera dan membuat gadis itu merintih. Namun, insiden kecil itu tidak berpengaruh apa pun. Tangan Arvin kembali bergerak.

"Ya Tuhan!" Pekikan itu terdengar disusul suara pintu yang tertutup.

***

Ya Tuhan... Gimana malunya mereka kalau pas lagi hot-hot pop gitu kegrebek sama orang lain?

Hahaha.

Terima kasih banyak sudah nanyain ini cerita. Ada yang DM IG, Wattpad, inbox FB. Kalian penyemangatku banget. 😍

Ayo ramaikan lapak ini....

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang