Bab 19

9.1K 836 76
                                    

Hallo semua... Siapa yang nunggu Kontrak? Makasih udah pada Line, Inbox, DM Wattpad buat nanya kapan Kontrak up. Hihi. Terharu aku. 😘😘😘

Oh iya, kalau misal kalian baca Kontrak atau Becoming Stepmother atau His Wife atau cerita aku yang lain dan saat itu nemu hal yang menurut kalian janggal atau hal yang kalian suka, komen aja. Tapi, tolong sampaikan dengan bahasa yang sopan, ya. Buat koreksi aku. Nggak enak, dong, tiba-tiba ceritaku dimasukin ke reading list 'B aja', 'Aneh', atau malah bahasa umpatan tanpa aku tahu masukan dari kalian. Aku nggak masalah ceritaku dimasukin ke reading list negatif, tapi mohon sampaikan masukan kalian. Aku lagi belajar soalnya.

Sekarang, selamat membaca. 😄

***

Hari temu keluarga Arvin pun tiba. Sore itu Rania masih saja menatap penampilannya di depan cermin rias dan diperhatikan oleh adik serta ibunya. Mereka terus saja mengomentari pakaian yang akan Rania kenakan. Sampai 30 menit berselang pun, permasalahan itu belum juga terselesaikan.

"Kamu tuh punya baju yang lebih tertutup dan nggak begitu formal, nggak, sih, Ran?" Yuni yang mulai gemas langsung beranjak menuju lemari Rania. "Jangan pakai dress selutut. Buat duduk nyibak nanti. Kalau simbah masih hidup, pasti dibilang, 'ra ilok'."

"Nah, simbah udah meninggal, Bu. Jadi, nggak bakal dibilang gitu." Rania masih memperhatikan penampilannya yang kali ini tengah mengenakan dress selutut warna biru muda. "Zaman sekarang hal kayak gini udah lumrah, Bu. Papinya Arvin kan dari Jakarta, pasti juga biasa lihat penampilan gini."

Yuni menoleh dan memelototi Kania yang kali ini mendukung jawaban kakaknya. "Kamu juga nggak usah ikut-ikutan Mbak-mu." Masih sambil menahan gemas, Yuni pun berjalan menuju lemari Rania dan mencari setidaknya satu pakaian yang ia harapkan.

"Udah dibilangin cuma ini yang aku punya." Rania kini duduk di samping Kania. Kedua anak itu kompak memperhatikan gerak tubuh ibu mereka seperti anak-anak penurut. "Kamu aja kalau ada acara resmi selalu pinjem pakaianku, kan." Rania berbisik pada sang adik setelah lelah menanti pilihan ibunya.

"Iya, Mbak. Yang Mbak pakai sekarang ini yang paling bagus. Masa iya mau pakai long dress."

Kedua anak itu bertatapan dan kompak tertawa. Tanpa sadar, mereka saling bergandengan tangan dan Rania menutup mulutnya menggunakan satu tangan yang bebas.

"Ra, Arvin udah datang." Suara Sukadi membuat perkumpulan wanita itu bubar. Mereka segera keluar dari kamar Rania yang selang satu ruangan dengan ruang tamu.

Langkah Rania terhenti. Ia menatap sang adik. "Jam tangan hitamku kemarin kamu pinjam, kan?"

"Iya. Bentar, aku ambil." Kania bergegas berlari ke arah tangga.

Yuni serta Rania mencapai ruang tamu dan melihat Arvin telah duduk manis di salah satu sofa. Sukadi berdiri sambil menggendong Gavin yang terlihat sangat ceria. Namun, ketika mata Gavin menangkap sosok Rania, anak itu langsung meronta. Tangannya melambai-lambai ingin digendong gadis bermata cukup sipit itu.

"Hei, ganteng." 

Rania mengambil Gavin dari gendongan ayahnya. Tatapannya sempat bertemu dengan Arvin yang baru saja bersalaman dengan Yuni. Kemudian, Rania mencium pipi Gavin bergantian hingga membuat bayi itu terkekeh. 

"Eh, tema kita biru-biru, ya? Padahal nggak janjian, lho."

Semua mata menatap Rania, Arvin, dan Gavin secara bergantian. Ya, mereka tampak terkoneksi. Rania dengan dress biru muda persis sewarna dengan sweater rajut yang Gavin kenakan. Arvin juga mengenakan kemeja biru muda, hanya warnanya sedikit lebih gelap dibanding warna yang Rania kenakan.

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang