Bab 9

12.1K 936 39
                                    

"Mas Lingga?" Pria itu memperhatikan Lingga dengan saksama, kemudian meringis iba melihat lebam di pelipis Lingga. "Mas mending jangan ke sana. Kondisi korbannya parah-parah."

"Aku harus nyari temen, Mas. Tadi aku lihat motornya ditabrak dari belakang." Lingga mencoba berontak, tetapi kepalanya berdenyut dan membuat tubuhnya terduduk di aspal.

"Nah, kan. Mending menepi dulu, Mas. Polisi dalam perjalanan. Semoga teman Mas selamat." Ucapan pria yang sebenarnya tetangga Lingga itu terdengar tidak meyakinkan. Pasalnya, kejadian kecelakaan saat ini berada di sekitar jembatan yang kerap menjadi tempat kecelakaan lalu lintas yang sangat parah.

Lingga menggeleng sembari memegang kepala. Ia mencoba bangkit tepat saat mendengar sirine polisi. Beberapa orang pun sudah mengaktifkan alat penerang melalui ponsel masing-masing dan Lingga merasa terbantu dengan itu. Ia mendekati salah satu motor yang sangat ia kenali.

"Rania...." Tepat setelah Lingga menyebut nama itu, ia melihat tubuh Rania tergeletak tak jauh dari beteng pembatas jembatan. Kontan saja Lingga berlari walau terseok-seok. "Ini teman saya, Pak. Tolong kalau ke rumah sakit, saya satu ambulance sama dia," pinta Lingga pada polisi yang tengah mengecek kondisi Rania.

Tak lama, beberapa ambulance datang silih berganti dan Lingga pun masuk di ambulance yang sama dengan Rania. Gadis itu tampak menyedihkan di mata Lingga. Walaupun helm masih melindungi kepala, tetapi wajah Rania tampak babak belur dan mengeluarkan darah. Bukan hanya itu, pakaian yang dikenakan gadis itu juga terkoyak di beberapa bagian.

"Ran, Ran, kita harus bicara. Segera bangun." Lingga menggenggam tangan Rania dan air matanya menetes deras. "Aku mau berjuang lagi sama kamu. Tolong bangun dan kasih aku kesempatan."

***

Kondisi rumah sakit benar-benar ramai. Petugas medis pontang-panting menerima pasien korban kecelakaan lalu lintas yang tak jauh dari lokasi rumah sakit itu. Lingga akhirnya terpisah dengan Rania. Hal itu disebabkan karena ruang UGD sangat penuh. Maka, korban kecelakaan yang masih sadar dan mampu berjalan sendiri ditangani di ruangan depan ruang UGD.

"Masih ada lagi?" Seorang perawat langsung menatap rekan yang berharapan dengannya. Mereka saling menyalurkan penguatan untuk mampu bekerja lebih cepat. "Kamu cari bed lagi!"

"Ini kecelakaan beruntun kok ngeri banget, sih. Banyak banget korbannya. Merinding aku tuh."

"Ada yang masih dalam pencarian katanya. Kelempar dari jembatan."

"Ya Tuhan... ngeri amat."

Lingga mendengar percakapan itu dengan jelas, tetapi karena kepalanya benar-benar sakit, ia pun hanya memejamkan mata. Kini ia tenang mengetahui Rania tengah ditangani oleh petugas medis. Ia pun memutuskan untuk tidur sejenak agar sakit di kepalanya berkurang.

Di dalam ruang UGD, perawat yang menangani Rania mencoba mengambil tas yang diselempangkan dengan hati-hati. Ponsel Rania bergetar dan dirasakan oleh perawat berkerudung yang langsung menatap ke arah temannya. "Angkat nanti." Balasan itu membuat perawat muda berkerudung putih, langsung meletakkan tas Rania dan membantu rekan lainnya menangani pasien.

Setelah selesai menangani Rania, perawat muda itu kembali mengambil ponsel Rania dan terbengong melihat layar ponsel yang menyala. Melihat keterkejutan di wajah temannya, perawat yang terlihat lebih tua segera mendekat.

"Kenapa? Segera diangkat dan beritahu keluarga atau kerabat mengenai kondisi pasien." Perawat yang lebih tua itu tampaknya tidak melihat nama atau foto di layar ponsel Rania.

"Ini... yang telepon Dokter Arvin."

"Yakin?"

"Iya, Mbak."

Ponsel langsung berpindah tangan setelah perawat berkaki jenjang itu mengambil ponsel Rania dari tangan perawat muda dengan cepat. Melihat foto Arvin memenuhi layar ponsel Rania, perawat tadi segera menerima panggilan dan memasang ekspresi semanis mungkin. "Selamat malam. Dengan...."

"Kirania... udah sampai rumah belum? Salah satu antingmu jatuh di mobilku." Suara Arvin terdengar tenang, tetapi cukup cepat.

"Maaf Dokter Arvin, pemilik hape mengalami kecelakaan. Ini perawat Tasya."

"Gimana kondisi Rania?" Suara Arvin menyiratkan kepanikan. Ia langsung mengenal perawat yang baru saja menyebutkan namanya.

Perawat itu menatap Rania sekilas. "Pasien belum sadar, Dok. Akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut."

"Tolong dipantau."

Panggilan langsung diputus sepihak oleh Arvin. Tasya kemudian menatap perawat yang lebih muda darinya tadi. "Pasien ini pacarnya Dokter Arvin," ucap Tasya masih menunjukkan ekspresi tidak percaya.

"Iya, Mbak. Aku pernah lihat Mbak ini periksa di poli kandungan ditemenin Dokter Arvin," balas perawat muda itu setelah mengingat-ingat selama perawat seniornya tengah berbicara dengan Arvin.

"Jadi ini calon istrinya Dokter Arvin yang ramai diberitain?" Perawat Tasya langsung memperhatikan Rania dengan saksama.

Beberapa perawat yang ada di sekitar mereka langsung menoleh dan melongok ke arah Rania. Mereka langsung menyuarakan ketidakpercayaan. Namun, fokus mereka terpecah ketika ada korban baru yang dibawa masuk ke ruang UGD.

***

Arvin meletakkan anting Rania di nakas samping ranjang. Ia pun bergegas keluar dari kamar dan memanggil Indri. Namun, bukan pengasuh Gavin yang datang, melainkan sosok wanita paruh baya yang masih gesit melakukan apa pun, termasuk memegang kendali sebagai asisten rumah tangga.

"Maaf, Pak Arvin... apa ada sesuatu yang terjadi?"

Pandangan Arvin melunak. "Mbok, Indri ke mana? Saya harus ninggalin Gavin, mungkin sampai besok. Tidak pulang." Gavin mengamati jam tangannya. "Tolong Mbok siapkan kemeja warna biru bebas yang mana, celana hitam, kaus kaki, dan keperluan mandi saya. Semua tolong dimasukkan ke dalam tas. Saya mau cari Indri dulu."

"Baik, Pak."

Arvin berjalan ke bagian rumah depan, kemudian membuka pintu. Kali ini ia melihat pengasuh Gavin tengah duduk sambil asyik mengobrol via telepon. Sebenarnya Arvin ingin mengomel, tetapi ia memahami posisi Indri yang tengah kasmaran.

"Indri."

Indri langsung menoleh dan menjauhkan ponsel dari telinganya. Buru-buru ia berlari menuju tempat Arvin berdiri. Kali ini ia benar-benar melihat ekspresi berbeda yang Arvin pasang. "Bagaimana, Pak?" tanya Indri cukup gagap.

"Jaga dan asuh Gavin baik-baik. Jangan sampai ninggalin dia tidur sendiri. Jangan telat kasih susu." Arvin mengucapkan itu semua dengan tegas.

"Baik, Pak." Indri menunduk. "Bapak akan ke luar kota?"

Tangan Arvin disedekapkan. "Tidak. Saya mau menemani pacar saya di rumah sakit. Kalau Gavin sakit atau kenapa-kenapa, tolong diantar ke rumah sakit. Saya selalu di sana."

"Baik, Pak."

Di tengah kepanikan, Arvin merasa puas dengan jawaban serta respons Indri.

Tak lama, wanita paruh baya tadi muncul sembari memberikan tas Arvin. Kemudian, dokter muda itu bergegas menuju mobil dan mengendarainya. Ia benar-benar mengkhawatirkan gadis itu. Bahkan, Arvin beberapa kali mengecek ponselnya saat menemui lampu lalu lintas berubah merah. Khawatir jika ada info buruk mengenai Rania. Karena aku yang terakhir ketemu sama dia dan bikin dia pulang larut. Setidaknya, aku harus bertemu dengan orangtua Rania dan minta maaf. Semoga dia tidak apa-apa.

***

Jangan ada yang bosen, ya.... Love you all....

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang