Bab 7

14.1K 1K 43
                                    

"Oh, dandananku?" Rania tersenyum. Ia tanpa sadar memainkan tangan Gavin yang menggenggam telunjuknya. "Aku itu sebenernya paling nggak suka dandan semenor ini. Cuma tuntutan kerja aja."

Arvin mengangguk dan menikmati suara Rania. Ia pun tersenyum ketika mendengar tawa gadis itu dan Gavin yang asyik bermain tanpa melibatkan dirinya. Tiba-tiba perasaan itu muncul dan membuatnya memanggil nama Rania, membuat gadis itu kembali menatap dirinya.

"Kalau orang lihat, pasti mereka ngira kamu mamanya Gavin."

"Bisa jadi." Rania mulai menunjukkan tatapan bingung. Ditambah, Arvin terus saja menatapnya intens. "Tapi aku, kan, nggak mirip sama Gavin."

"Gavin mirip aku, karena dia dominan mirip mamanya."

Rania mengangguk-angguk. Ia menatap Gavin. "Mirip juga, sih, sama kamu. Jangan-jangan kamu beneran papanya?"

Tanpa menunggu, Arvin mengambil ponsel dan membuka galeri. Ia menunjukkan foto Gavin dan dirinya. Rania kemudian menerima uluran ponsel dan memperhatikan setiap wajah yang diabadikan dalam foto itu. Seorang wanita yang mirip dengan Arvin tengah menggendong bayi sambil duduk di ranjang rumah sakit. Arvin di sisi kiri dan seorang laki-laki dewasa berada di kanan wanita itu. Kontan saja Rania menganga melihat betapa miripnya wanita itu dengan Arvin. Cara mereka tersenyum juga sangat mirip.

"Mirip banget. Ini kembaran kamu?"

Arvin menggeleng dan menerima ponsel yang Rania kembalikan. "Dia adikku. Jarak usia kami 4 tahun, tapi orang-orang memang sering ngira kami kembar."

"Iya, sih. Soalnya mirip banget."

Rania menatap Arvin dengan tidak enak hati ketika pria itu tersenyum tipis. Namun, ekspresi Arvin berubah seketika. Pria itu kembali menatap Rania dengan ceria dan tersenyum menggoda, membuat Rania salah tingkah. "Jadi, kamu percaya sekarang kalau Gavin bukan anakku?" Kenapa aku ingin Rania tahu kalau Gavin bukan anakku?

Ketika Rania hendak menjawab, pramusaji muncul membawakan pesanan mereka. Dalam sekejap, meja mereka terisi banyak makanan, membuat Gavin berjingkrak dalam pangkuan Rania. Anak itu seolah ingin menggapai asap dan Rania dengan sigap menahan gerakan bayi berusia 5 bulan itu.

"Kamu bawa susunya Gavin?" tanya Rania yang kesulitan mencegah Gavin menggapai taplak meja,

Arvin berjalan ke mobil dan mengambil botol susu. Setelah kembali ke hadapan Rania, ia berkata, "Sini, biar Gavin aku gendong dulu dan kamu makan." Rania terkekeh. Arvin dibuat bingung dengan hal itu. "Kenapa?"

"Nggak. Lucu aja." Rasanya kayak sepasang orangtua yang baru aja punya anak. Rania kembali terkekeh, kemudian mengambil botol dalam genggaman Arvin. "Kamu makan dulu aja. Serius. Aku masih pengin main sama Gavin."

Tawa Rania rupanya menyebar dan membuat Arvin tersenyum. Pria itu mulai menikmati makan malamnya sambil bercengkrama dengan Rania dan Gavin. Tiba-tiba ada keinginan menggelitik yang terlintas di kepala Arvin dan ia tak sabar menyampaikannya. "Kamu ada libur minggu ini?"

"Ada. Sabtu. Kenapa?"

"Sabtu?" Arvin mengecek ponselnya. "Free dari pagi?"

"Ya." Rania mencoba tersenyum untuk mencairkan suasana. "Mau ngajak aku jalan-jalan, ya?" Kali ini Rania memasang ekspresi jail dan menggoda Arvin sebagai bentuk candaan.

Balasan Arvin berupa anggukan disertai senyuman yang sangatlah lebar. "Kalau kamu mau. Gimana?" Melihat Rania mulai terlihat santai, Arvin pun menghela napas penuh kelegaan. "Aku jemput ke rumah?"

"Jangan ke rumah, nanti orang-orang mikir yang aneh-aneh." Rania menjeda obrolan. Ia minum dengan tenang sembari menetralisir detak jantungnya yang berdetak aneh setelah sekian lama rasa aneh itu tak pernah ia rasakan. "Memangnya kamu mau ngajak aku ke mana?"

"Kamu sukanya ke mana? Yang ramah anak, mungkin?"

Rania mengerjapkan mata kemudian bersandar. "Em... ramah untuk Gavin?" Kali ini Rania menatap Gavin cukup lama. "Rumah, sih. Anak sekecil Gavin sangat rentan kalau diajak ke tempat umum. Kasihan."

"Ok, ke rumahku aja?"

"Rumahmu? Jangan bercanda!" Wajah Rania seketika merah padam.

"Bukannya itu saran kamu tadi? Atau, ke rumahmu?" Arvin mengulum senyum melihat ekspresi Rania. Pipinya masih mirip kepiting rebus. "Lagi pula kamu bisa ngobrol-ngobrol sama pengasuhnya Gavin. Kita nggak berdua aja. Maksudku, bertiga sama Gavin."

Mata Rania berbinar. Ia tersenyum seolah menemukan sebuah ide cemerlang untuk mengisi acara liburannya dengan kedua pria yang baru ia kenal ini. Rania berkata, "Ke rumah kamu aja. Ada hal yang mau aku selesaikan sama pengasuhnya Gavin."

"Apa?" Arvin tersenyum jail. Sejak awal ia memang merasakan ketidaksukaan Rania pada Indri. Walaupun sebelumnya saat di rumah sakit Rania tak ingin jujur, tapi Arvin yakin, gadis itu tengah menyusun strategi.

"Lihat aja besok. Tunggu tanggal mainnya." Ekspresi Rania mendadak berubah dan ia menatap Arvin lekat. "Apa nggak masalah kalau aku main ke rumah kamu? Ada pacar? Mencurigakan kalau orang setampan dan semapan kamu ini nggak punya pasangan atau sekadar cewek yang deket."

"Nggak, aku udah lama nggak jalin hubungan serius sama cewek." Arvin menjawab dengan santai setelah menyeruput minumannya. Itu adalah pertanyaan yang biasa ia dapat dari begitu banyak perempuan. Tetapi, ia sadar, caranya menanggapi Rania lebih responsif daripada ke wanita lain.

"Trauma?" Alis Rania terangkat penuh selidik.

"Nggak. Bosen."

Kerutan di kening Rania langsung dalam. Ia berucap spontan, "Bosan sama perempuan? Kamu gay?"

Pertanyaan itu terlontar ketika Arvin baru saja mengunyah makanannya. Saking terkejutnya, pria itu tak sengaja menelan makanan yang belum terkunyah halus, kemudian terbatuk. Refleks, Rania mencoba mengambilkan sembarang gelas di depannya dan disodorkan ke Arvin. Dokter tampan itu pun tidak berpikir dua kali dan langsung meminum minuman dengan beberapa kali teguk. Keningnya mengernyit.

"Minuman rasa apa ini?" tanya Arvin setelah berdeham beberapa kali. Ia juga memperhatikan gelas yang isinya nyaris habis itu dengan saksama. Pun, Arvin beberapa kali menyecap untuk menggali ingatannya tentang rasa seperti ini. "Rasanya kayak bau rumput yang baru aja dipotong."

"Hah?"

Tentu saja respons lanjutan Rania adalah tertawa. Arvin adalah orang yang kesekian kali mengatakan rasa green tea mirip dengan rasa rumput. Terlebih, ekspresi yang Arvin pasang benar-benar mampu menggelitik perutnya. Sekali lagi Rania memperhatikan pria di depannya dan mengingat-ingat kembali ekspresi aneh yang sempat dipasang pria itu. Rupanya orang ganteng kalau masang ekspresi aneh tetep kelihatan ganteng. Untung mantan-mantan aku dulu kalau lagi pasang muka konyol ya tetep kelihatan jelek. Kalau kelihatan ganteng gini, bisa nyesel seumur hidup.

Arvin meletakkan sendok dan kembali meneguk minuman pesanannya. Kemudian, ia memesankan green tea dengan es sedikit pesanan Rania yang nyaris saja ia habiskan. Sepeninggalan pelayan yang baru saja mencatat pesanan kedua Arvin, pria itu beranjak dan berjalan mendekati Rania.

"Aku bukan gay, Rania. Mau bukti?" bisik Arvin sembari mencondongkan tubuhnya ke arah Rania.

Gadis yang mendapat serangan balik seperti itu benar-benar terkejut. Semakin terkejut saat tangan Arvin bergerak maju dan ia refleks mundur sambil memeluk Gavin yang cukup tenang. Rupanya dugaan Rania salah. Arvin melakukan itu untuk mengambil bayi gembil yang ada di pangkuan Rania.

"Sekarang kamu makan, Rania." Arvin tersenyum miring. Rasanya puas membalas dendam pada gadis cantik yang rupanya cukup licik karena mampu melontarkan kalimat-kalimat tak terduga.

Sial, aku dikerjain.

***

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang