Bab 22

8.4K 686 60
                                    

Hallo... Terima kasih banyak buat teman-teman yang vote tetap di Wattpad. Dan terima kasih banyak buat teman-teman yang rela dw mangatoon demi nyari dan ngikutin cerita ini. Aku merasa bahagia banget. Maaf komen"nya belum aku balas, ya. Nanti pasti aku balas. Karena waktu sengganggu belum banyak, jadi aku fokus nulis dulu.

Bener, ada yang kemarin komen dan DM kalau rajin update pasti rame. Aku usahakan, ya. Soalnya jiwa males + sok sibukku kadang tuh nyempil. 😭Terima kasih atas masukkannya. Yaaa.

Aku juga mau ngabarin kalau His Wife, As One, Becoming Stepmother sudah ada di google playbook. Search Auroragong-ju, kalian bakal menemukan mereka. Kalau mau beli versi cetaknya juga masih ada stock. Becoming Stepmother juga masih ada.

Jangan protes kependekan, ya. Ini buat pemanasan bab depan. Arvin mau bikin gebrakan kalau masih belum direstuin sama papinya. Hayuk, ikuti. Karena per babnya pendek, jadi ini bakal banyak babnya. Sabar ya....

Dan jangan lupa baca note akhir nanti.

***

Arvin terkejut saat mendengar Rania memanggil namanya dan tak lama, gadis itu telah berdiri di sebelahnya sambil menggendong Gavin yang tersenyum lebar. Ada sepersekian detik ketika Arvin tak mampu mengendalikan ekspresinya, tetapi setelah itu ia kembali memasang ekspresi datar seolah tidak terjadi apa pun.

"Kenapa nggak langsung nyamperin?" Rania menyipitkan mata dan memasang tatapan curiga. "Kamu mau nguping?"

Tak ada jawaban dan membuat Rania menghela napas menahan jengkel. Ia tidak menyangka jika Arvin memiliki sisi seperti ini.

Karena tidak ingin menunjukkan kejengkelannya di depan publik, Rania mendekatkan diri pada Arvin. "Tolong sapa temen-temenku terus bilang kalau kamu mau ajak aku pergi sekarang. Jangan lupa sambil senyum," bisik Rania penuh penekanan.

Arvin pun mendongak dan langsung berdiri. Ekspresinya masih saja datar dan hal itu membuat Rania was-was. Sorot mata itu sangat mirip seperti sorot yang Arvin pancarkan saat pria itu tengah beradu argumen dengan ayahnya. Karena itu, suasana hati Rania makin jatuh. Dengan perlahan, ia menoleh untuk melihat ekspresi Arvin dan... kejutan. Pria itu tersenyum, tak ada sorot emosi.

"Maaf kalau saya ganggu kalian, ya. Tapi, boleh nggak kalau saya ajak Rania pergi sekarang?"

Rania dibuat terkejut sekaligus takjub. Hal itu linear dengan ekspresi sahabat-sahabatnya. Bahkan, mereka semua tak mampu mengalihkan pandangan dari Arvin. Terutama Trina dan Anis. Putri menutupi itu dengan ekspresi datar, kemudian menjawab, "Boleh, kok."

"Makasih." Arvin tersenyum. Ia mendekati Rania dan menyentuh pinggang Rania, tetapi kembali mengarahkan pandangan ke arah tiga sahabat Rania. "Kami duluan."

"Hati-hati, ya." Trina yang kali ini menyampaikan salam perpisahan.

Rania melambaikan tangan dan berbisik, "Stroller-nya Gavin jangan lupa."

Pasangan itu segera melenggang pergi setelah Rania berpamitan dan Arvin membawa stroller milik Gavin. Mereka jalan berdampingan seperti pasangan suami istri yang akur. Padahal, keduanya tengah menahan gejolak yang sangat besar.

***

"Sekarang bisa kamu jelaskan motif kamu tadi?" Rania memulai ketika Arvin sudah melajukan mobilnya meninggalkan kawasan rumah makan.

"Kita cari tempat dulu."

Kejengkelan sudah tersorot jelas dari sepasang mata sayu milik Rania. "Aku nggak suka bahas hal pribadi atau menunjukkan keributan di depan umum. Kalau mau kayak gitu, sekarang kamu cari jalan yang lumayan luas buat menepi. Berhenti, terus kita selesaikan ini semua."

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang