Bab 12

10.4K 958 120
                                    

Gimana hot-hot pop kemarin? Kuy, ramekan yang ini. Lebih mencekam. 😎

***

Ciuman dan segala kegiatan Arvin pada tubuh Rania terlepas. Mata mereka tak kalah melebar jika dibandingkan sosok yang kini terpaku di depan pintu. Dan wajah Rania langsung pucat.

"Apa yang kalian lakukan?!" Suara ibunda dari Rania menggelegar, tetapi bergetar.

"Bu...." Rania buru-buru mengusap bibirnya.

Wajah Yuni merah padam, pun dengan matanya. Wanita itu mengangkat tangan untuk menghentikan alasan yang akan Rania lontarkan. "Bapak dan Rama harus di sini. Biar mereka saja." Tangan Yuni dengan panik merogoh tas. Setelah memegang ponsel, wanita itu mencoba menelepon suaminya dengan tangan gemetar. "Pak, ajak Rama ke rumah sakit. Cepet! Rania, Pak... Rania."

Baik Rania dan Arvin kompak menunduk mendengar kepanikan yang terjadi. Dalam diam, keduanya sama-sama malu. Namun, Rania tidak mengerti kenapa hal yang tadi itu bisa terjadi. Siapa yang memulainya? Ia tidak pernah membayangkan atau memikirkan hal seperti itu bisa mereka lakukan. Ceroboh!

"Pokoknya ke sini! Cepet!"

Suasana mendadak sepi dan mencekam setelah Yuni menyelesaikan panggilan serta memotong usaha Arvin untuk menjelaskan keonaran yang baru saja terjadi. Jawaban wanita yang tengah mengenakan blus lengan pendek dan rok selutut itu hanya, "Tunggu sampai Bapak dan Rama sampai."

Arvin berbisik, "Kamu bilang, ibu kamu lagi di jalan."

"Memang. Ternyata 50 menit yang lalu. Aku salah ingat." Rania menyadari sesuatu. Wajar saja ibu udah sampai. Duh, konyol! Gadis berwajah pucat itu mengerjap.

Kurang lebih 40 menit berselang, ayah Rania dan Rama datang bersamaan. Ekspresi mereka luar biasa panik. Langkah mereka juga cepat, serta napas mereka memburu. Bahkan, wajah Sukadi sepucat wajah Yuni saat ini. Namun, ekspresi itu berubah ketika melihat Rania duduk di bed dan Arvin yang berdiri tegap di samping putri kesayangannya sambil menunduk.

Kedua pria yang baru saja tiba itu jelas menunjukkan kebingungan.

"Bu... kenapa telepon seolah Rania kenapa-kenapa?"

Yuni terhuyung dan Rama segera menangkap tubuh ibundanya. "Aku mau duduk. Aku mau duduk," gumam Yuni berulang sembari memegang kepala.

"Ran, kamu kenapa? Kenapa sampai Ibu panik kayak tadi?" Sukadi mendekati Rania dan otomatis juga Arvin.

Bukannya menjawab, Rania malah menatap Arvin dengan pandangan penuh ketakutan. Luar biasanya, Arvin menggenggam tangan kiri Rania dan mulai menatap ayah gadis itu. "Mohon maaf, Pak. Tadi Ibu... melihat kita berciuman." Suara Arvin makin lirih.

"Apa itu masih bisa disebut ciuman?" Yuni menyahuti dengan berapi-api hingga membuat Rama yang duduk di sampingnya terkejut. Tatapannya jelas dilayangkan ke arah Arvin.

"Lebih dari itu," balas Arvin yang keberaniannya mulai ciut.

Mata Sukadi melebar. "Maksudnya kalian...."

"Tidak, Pak!" Rania dan Arvin kompak. Kini, keduanya beradu pandang penuh kepanikan.

"Sampai mana? Apa sampai...?" Rama berdiri dan kini berjalan mendekati mereka. Ia juga sedikit memperagakan membuka kancing baju paling atas dengan kaku. "Beneran sampai sana?"

Arvin menegakkan kepala. "Sampai tangan saya di pinggang Rania," balasnya dengan cepat. "Maaf, saya kehilangan kontrol."

Rania sontak memejamkan mata dan membuang muka ke arah lain. Ia luar biasa malu. Rania yakin, Rama pun pernah melakukan hal itu dengan kekasihnya. Namun, sialnya Rania adalah ia yang baru sekali melakukan itu, langsung kepergok.

"Kalian sudah sering melakukan ini? Sudah lebih jauh dari yang Ibu lihat tadi?" Yuni terisak di tempatnya.

"Tidak, Bu." Arvin menarik napas panjang dan memantapkan keberaniannya.

Yuni menghela napas panjang, tetapi air matanya tak juga reda. "Ibu nggak mau hal kayak gitu terjadi lagi. Bahkan ke hal yang lebih parah. Sekarang pilih, kalian pisah atau nikah?"

"Bu... itu cuma salah paham. Aku sama Arvin bahkan baru kenal. Kayaknya aku yang baru aja nge-fly gara-gara obat. Jadi agak linglung."

Semua orang menatap aneh ke arah Rania.

"Gimana bisa orang linglung ngomongnya lancar kayak gitu?" Sukadi mulai turun tangan. Pria itu semakin mendekati Rania dan Arvin. "Kalian sudah sama-sama dewasa, tapi itu benar-benar kebablasan. Kalau nggak dipergokin sama Ibu, pasti udah lebih jauh. Arvin, kalau kamu hanya mau main-main sama Rania, silakan pergi sekarang. Mumpung saya masih memberi kesempatan. Kami akan mendidik anak kami lebih baik lagi."

"Pak...."

Arvin sedikit mempererat genggamannya pada tangan Rania dan melemparkan tatapan peringatan. Mata sayu Rania langsung membulat. Tolong... tolong jangan gegabah. Jangan drama-dramaan lagi. Tolong....

"Tapi kalau keputusanmu sebaliknya, kamu yang harus tanggung jawab mendidik Rania."

Mata Rania berkaca-kaca. Ini pertama kalinya ia melihat sang ayah menunjukkan ekspresi gelisah yang menampar batinnya. Dan kalimat tadi juga benar-benar meremas hatinya. Ia sangat tahu makna di balik kalimat itu.

"Saya yang akan bertanggung jawab mendidik Rania, Pak." Nada Arvin sarat akan keteguhan. Bahkan, pria berbadan tegap itu berani menatap kedua mata ayah Rania.

"Terima kasih...." Sukadi menepuk bahu Arvin beberapa kali. Ada kelegaan yang akhirnya terpancar.

Saat Arvin hendak mendekati Yuni, wanita itu langsung berkata, "Cepalah menikah sebelum kalian bablas. Ibu nggak mau kepalang malu kalau Rania keburu isi!"

"Nggak!" Setelah sekian lama hanya berperan sebagai pengamat, Rama angkat bicara dan menatap Arvin dengan tajam. "Kamu harus bawa keluarga kamu ke rumah kami. Juga, apa yang sudah kamu persiapkan hingga mantap sama Rania?"

Arvin menatap Rania sesaat. "Keluarga saya hanya bayi berusia 5 bulan, putra dari almarhum adik saya. Saya bisa mempertemukan dia dengan keluarga Mas hari ini juga." Arvin kembali menghela napas panjang. "Dan saya mempersiapkan diri saya sendiri untuk melamar Rania."

"Orangtua kamu?" Kini serangan dilancarkan Sukadi.

"Ibu saya sudah meninggal."

"Lalu ayah?"

Semua pandangan mengarah ke Arvin, menanti jawaban pria itu yang terjeda cukup lama. Dari mimik wajah, mereka melihat keengganan yang Arvin tunjukkan. Sayangnya, Sukadi tidak ingin melepaskan putrinya dengan sembarang orang begitu saja.

"Tinggal dengan istrinya." Arvin menunduk.

"Maaf."

"Tidak apa-apa, Bu." Arvin tersenyum tulus. Ia memahami segala yang dilontarkan oleh keluarga Rania. Situasi dan kondisi yang membuat mereka seperti itu.

Rama dan Sukadi beradu pandang. Mereka melupakan Yuni yang masih lemas dan syok melihat pemandangan tak layak yang disuguhkan putrinya beberapa waktu lalu. Kemudian, Rama memberi kode pada ayahnya untuk memutuskan langkah selanjutnya melalui pandangan mata. Setelah menghela napas panjang, Sukadi berkata, "Ya sudah, mau gimana lagi? Bawa surat atau bukti apa pun yang menyatakan kamu lajang, belum pernah menikah sebelumnya, dan berkelakuan baik terutama belum pernah melakukan tindak kejahatan."

"SKCK juga, Pak?" tanya Rania yang merasa persyaratan ayahnya cukup konyol.

Melihat Rania yang mulai berulah, Arvin kembali melempar tatapan penuh peringatan. Ia tak ingin membuat kondisi makin panas dan menegangkan.

**

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang