Bab 25

6.4K 449 9
                                    

Rania menghela napas panjang setelah berdiri di depan wastafel. Ia menatap pantulan diri di depan cermin. Tak lama, sosok Arvin muncul di belakang Rania dan menyentuh pundak gadis itu, memberikan pijatan ringan.

"Capek, ya? Mau mandi duluan?"

Gelengan segera Rania berikan. Ia masih fokus menikmati pijatan Arvin dan menatap wajah suaminya dengan saksama. Pria itu jelas tersenyum walaupun rasa lelah jelas terpampang dari kantung matanya.

"Mas yang mandi dulu aja. Aku masih mau menatap wajah cantikku ini. Sayang kalau makeup-nya dihapus. Aku jadi itik buruk rupa lagi." Helaan napas panjang menutup kalimat Rania.

Kontan saja Arvin terkekeh.

"Mana ada?" Pijatan yang Arvin berikan terhenti. "Ya udah, aku mau mandi dulu. Kamu buruan hapus makeup-nya. Besok dandan lagi."

"Ya ... ya ...." Rania menghela napas panjang dan mengangguk-angguk.

Setelah Arvin masuk ke kamar mandi samping tempatnya berdiri, pengantin wanita itu langsung membuang napas dari mulut. Ia kemudian menatap pintu kamar mandi kaca sambil melebarkan mata. Tangannya ia silangkan di depan dada, kemudian berpindah untuk menutup matanya. Karena, ia bisa jelas melihat kepala Arvin.

Gila! Kenapa aku deg-degan gini? Ya ampun, Ran! Bukankah ini yang kamu tunggu-tunggu? Impianmu buat punya anak udah di depan mata. Dia juga udah memulai obrolan. Jangan rusak momen ini. Kamu udah ngelakuin hal gila demi bisa mengandung dan melahirkan seorang anak dari bibit unggul. Wah! Kamu hebat, Ran! Nggak boleh baper, ini cuma pernikahan kontrak.

Segera Rania membersihkan wajahnya dengan setengah hati. Tangannya seketika dingin dan jantungnya semakin berdetak kencang saat otak nakalnya memberi komando untuk menatap ke sisi kiri di mana Arvin saat ini tengah berdiri di bawah shower.

"Rania, fokus bersihin wajah!" gumamnya.

Selang beberapa menit, pintu kamar mandi dibuka dan muncullah Arvin yang membalut tubuhnya dengan handuk kimono. Rania memperhatikan pria dengan rambut basah itu dari ujung kepala sampai kaki.

"Buruan mandi, Ran," ucap Arvin sembari menggosok rambutnya dengan handuk. Karena posisi kamar mandi dengan tempat Rania berdiri sangat dekat, dalam dua langkah saja Arvin sudah berada di belakang istrinya.

"Ok. Tapi, kamu mau keluar dulu atau nggak?"

"Keluar? Ke mana?" Kening Arvin berkerut dalam.

Rania mengerjap. "Em, misal ... beli kopi?"

"Kamu ngeraguin kekuatanku menahan kantuk?" Kekeh pria yang kini memampangkan dada bidangnya dan langsung menarik tangan sang istri. "Mandi sana. Takutnya malah kamu yang keburu ngantuk."

"Oh, iya." Rania hanya tertawa canggung.

Ritual mandi itu Rania gunakan selama mungkin untuk menenangkan detak jantungnya. Ia berharap Arvin masuk ke kamar, bukannya berdiri di depan wastafel dan mengeringkan rambut. Namun, ia sadar, tak masuk akal jika ia meminta hal itu ke suaminya. Walaupun dengan perasaan was-was dan tidak nyaman, Rania mulai menanggalkan pakaian dan mandi.

Selepas mandi, Rania juga mengikat tali kimono dengan kuat dan menarik napas dalam sebelum membuka pintu. Tepat saat itu Arvin menoleh dan tersenyum, kemudian melambaikan tangan sebagai perintah agar Rania mendekat. Pria itu memosisikan Rania di depannya dan segera menyalakan hairdyer.

"Capek?"

"Normalnya capek," balas Rania saat menatap pantulan wajah Arvin dari cermin.

Suara hairdryer berhenti dan Arvin meletakkan benda itu. Kemudian, Rania merasakan pelukan dari belakang. Detak jantungnya berdetak lebih kencang kala merasakan helaan napas Arvin di tengkuknya. Napasnya pendek-pendek saat melihat dari pantulan cermin sekaligus merasakan ciuman dari sang suami di lehernya. Saat itulah ia mendengar bisikan Arvin dan naluri membuatnya mengangguk sebagai jawaban.

***

Kecanggungan menyelimuti pasangan baru itu saat pagi menyapa. Benar-benar kesunyian menyerang salah satu kamar hotel bintang lima di Jogja itu sejak penghuninya bangun sampai setelah mereka bergantian mandi. Bahkan, hanya sekadar adu tatap pun, selalu Rania hindari. Hingga akhirnya dering ponsel Rania memecah kesunyian. Arvin mencuri pandang ke layar ponsel istrinya yang menyala terang.

"Halo," jawab Rania sembari melempar pandangan sekilas ke Arvin.

"Ran, aku dengar kemarin kamu nikah. Itu beneran?"

"Iya, Ngga."

Gadis bermata sayu itu terus menatap suaminya yang tak melepaskan pandangan darinya. Perlahan, Rania turun dari ranjang dan berjalan mendekati jendela. Ia kini menatap suasana di luar hotel sembari mendengar suara dari balik panggilan.

"Kamu bohong, kan? Kenapa teman-temen kamu nggak ada yang bikin postingan dateng ke acara nikahan kamu? Kenapa kamu nggak ngundang aku?" Suara Lingga lemah dan terdengar putus asa.

"Buat apa aku bohong?"

Fokus Rania pecah saat mendengar getaran ponsel Arvin di meja. Sebelum menerima panggilan, Arvin menatapnya. Pria itu juga turun dari ranjang dan berjalan menjauh sambil berbicara dengan penelepon.

"Ran, maafin aku. Beri aku kesempatan."

Sosok Arvin yang keluar dari kamar hotel setelah mengakhiri panggilan itu pun menarik perhatian Rania. Namun, suara Lingga menarik fokusnya kembali. Lalu, Rania berdeham. Ia pun berkata, "Udah nggak bisa, Ngga. Kamu lupa sama apa yang aku omongin pas pertemuan kita di kafe terakhir kali? Lepasin aku sama kayak kamu dulu buang aku."

"Ran, nggak gitu."

"Kita itu terlalu banyak halangan. Orang tua kamu, calon istri kamu, dan sekarang aku pertegas dengan pernikahan aku. Semoga kamu semakin paham sama yang aku maksud. Bagaimanapun, kita itu udah berakhir sejak awal. Lepasin aku, Ngga. Biarin hati aku benar-benar sembuh." Air mata Rania menetes tepat setelah mengucapkan kalimat terakhir itu.

"Aku udah putus sama dia. Kamu bisa putus sama pacar kamu itu."

"Aku beneran udah nikah, Ngga." Rania menyeka air matanya. "Percaya nggak percaya, terserah kamu. Maaf nggak bisa menuhin ekspektasi kamu. Aku tutup."

Pandangan Rania terarah ke langit. Bohong ia benar-benar melupakan sosok Lingga. Namun, terlalu munafik jika ia mengatakan jika berhasil memaafkan pria itu. Kosong, itu yang Rania inginkan untuk saat ini. Ketika rintik hujan dapat ia lihat dengan jelas, Rania menyentuh kaca tanpa sadar.

"Ini kado dari Sybil."

Suara Arvin membuat Rania menoleh. Pria itu kini sudah berdiri di dekatnya sambil mengulurkan papperbag berwarna merah muda.

"Siapa Sybil?" Kening Rania berkerut.

"Temen aku." Arvin tak bisa mengucapkan itu dengan jelas. Ia kemudian duduk di samping Rania. "Tadi dia telepon dan bilang mau ketemu bentar karena cuma parkirin mobil di pinggir jalan. Kamu juga lagi ada telepon, jadi aku turun sendiri."

Rania mengangguk dan berterima kasih. Namun, ia segera menatap Arvin.

"Kalau nggak salah, dia nggak masuk list undangan. Namanya asing banget. Berarti temen deket kamu, ya? Harusnya kamu ajak dia makan sebagai ucapan terima kasih udah ngeluangin waktu."

"Tadi dia bilang ada urusan. Mungkin ada jadwal dinas pagi. Lagian, masih pagi gini restoran hotel juga belum ada apa-apa."

"Dia dokter juga?"

Arvin mengangguk dan segera beranjak. Ia kembali ke ranjang dan menyibukkan diri dengan ponselnya. Sedangkan Rania segera mengintip isi kado di dalam papperbag. Ia kemudian menghela napas panjang.

Sybil? Mantan pacar Arvin yang aku temuin di rumah sakit waktu itu, ya? Yang bikin Arvin batalin janji sama aku?

***

Bagaimana part barunya? Lanjut? Selamat untuk kalian yang berhasil lulus dari penantian bertahun-tahun. Semoga cerita ini dapat mengobati kerinduan kalian, ya.

Sejatinya, jangan terlalu berharap cerita mereka manis kayak gula aren, ya. Karena baru saling mengenal dan sejak awal memang ada benteng tinggi yang sengaja Rania buat.

Yogyakarta, 5 Juli 2022

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang