Arvin menepikan mobil dan bergegas keluar menghampiri kerumunan yang tidak begitu banyak. Seorang gadis berambut sebahu dan tengah mengenakan celana panjang itu langsung menoleh dan matanya berkaca-kaca.
"Kucingnya mati," ucap gadis itu sambil memegang lengan kanan Arvin dengan gemetar. "Aku nggak sengaja."
"Sybil, tenang. Duduk dulu, biar aku yang selesaiin sama pihak keluarga." Arvin dengan perlahan melepaskan genggaman mantan kekasihnya yang mulai meneteskan air mata.
Sybil pun lebih menepi dan langsung berjongkok. Ia membenamkan wajah di sela lipatan tangan dengan lututnya. Arvin hanya menoleh sekilas, kemudian menatap anak kecil yang menangis histeris memanggil nama kucingnya. Namun, pria itu lebih memilih untuk berbicara dengan sosok yang ia duga sebagai ayah anak kecil itu.
"Mohon maaf atas kesalahan teman saya, Pak. Dia pasti tidak sengaja, karena teman saya itu pecinta kucing dan pernah trauma dengan kucing yang meninggal karena kecelakaan."
"Tidak apa-apa, Mas. Salah kami juga membiarkan kucing kami berkeliaran di jalan," balas pria yang sebagian rambutnya memutih walaupun terlihat masih muda.
"Papa! Hidupin Molly lagi, Pa." Anak yang kisaran 5 tahun itu menangis dengan histeris dan menarik-narik celana ayahnya.
"Maritza, ikhlasin Molly, ya. Besok kita beli saudara Molly lagi dan kita harus lebih merhatiin kucingnya. Jangan sampai dilepas. Tante itu nggak sengaja. Lihat, tantenya juga sedih."
Arvin bernapas lega melihat sosok ayah yang sangat tenang menghibur putrinya dan menerima kecelakaan ini dengan lapang. Ia pun segera mendekati Sybil dan mengajaknya diskusi. Tak lama, gadis itu berdiri dan mendekati keluarga itu.
"Sekali lagi saya minta maaf, Pak, Bu, dan Adik. Saya janji untuk bertanggung jawab. Boleh saya minta nomor Bapak?"
Seorang pria yang tengah memakai topi segera menyeberang dan membantu proses perawatan kucing yang telah meninggal itu. Arvin, Sybil, dan pria pemilik kucing masih terus berdiskusi sampai akhirnya mereka mencapai kesepakatan untuk membeli kucing baru. Setelah itu, Arvin pamit.
"Kamu udah tenang? Bisa menyetir sendiri atau mau aku anter pulang?"
"Tolong anter aku pulang aja, Vin. Aku udah pusing sama ngantuk banget. Biar Mia yang ambil mobilnya." Sybil tidak bohong, kantung matanya menghitam dan tangannya masih gemetar meskipun tidak separah tadi.
"Ya udah, mana kunci mobilnya? Biar aku tepiin dan titipin ke keluarga tadi."
Arvin berlari mendekati pemilik rumah di seberang jalan dan mengobrol. Selanjutnya ia masuk mobil Sybil dan memarkirkan mobil di depan rumah orang itu.
"Ayo masuk." Arvin membukakan pintu mobil untuk Syibil.
"Makasih, ya, Vin. Tadi aku udah bingung kudu hubungi siapa. Soalnya Mia nggak angkat."
Arvin yang tengah memakai sabuk pengaman hanya mengangguk. Tiba-tiba dirinya teringat untuk mengecek ponsel. Dan saat melihat nama sang istri, Arvin segera membuka pesan, kemudian meneleponnya.
"Sayang, maaf aku baru cek HP," ucap Arvin setelah Rania mengucapkan 'halo'.
"Sayang?" Ada nada kebingungan yang Arvin dengar. "Sejak kapan dia manggil aku 'sayang'?" Kali ini suara Rania agak menjauh.
"Sejak hari ini," balas Arvin cepat. "Aku anterin aja, ya? Posisiku nggak begitu jauh dari kantor kamu."
"Loh, belum sampai rumah?"
"Belum, Sayang. Tadi Sybil telepon aku kalau dia kecelakaan nabrak kucing. Udah hubungi kerabat tapi nggak diangkat, makanya dia telepon aku."
"Oh gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontrak ✅
RomanceAdakah wanita di dunia ini yang terobsesi untuk merasakan hamil, melahirkan, dan merawat bayi seorang diri? Rania akan menjawab dengan sangat lantang, "Ada!" sambil menunjuk dirinya sendiri. Keanehan pola pikir gadis bernama lengkap Kirania Myesha U...