Bab 2

20K 1.2K 95
                                    

Rania menatap Arvin dengan tatapan tidak percaya. Namun, hanya dibalas senyuman oleh pemilik hidung mancung di hadapannya. Itu Rania lihat atas bantuan cahaya yang dipancarkan rembulan.

"Beruntungnya?" tanya Rania yang sebenarnya memahami maksud kalimat yang baru saja Arvin ucapkan. Ia hanya ingin mendegarkan penjelasan langsung pria itu.

"Ya. Kalau aku tidak kesasar, pasti aku tidak bisa menolong Bu Tri melahirkan."

"Sesuai dugaanku," gumam Rania. Ya mana ada dia ngerasa beruntung gara-gara ketemu sama kamu, Ran.

Arvin mengusap tangannya yang penuh dengan darah. Melihat Rania berjalan menuju motor matic yang diparkir sembarang di tengah jalan, Arvin segera mendekat dan berkata, "Bisa nggak kita cari rumah warga terdekat? Aku nggak bisa menyetir dengan kondisi tangan kayak gini." Arvin menunjukkan kedua telapak tangannya.

Sejujurnya Rania tidak bisa melihat apa yang ada di tangan Arvin, karena sinar bulan tertutup rindangnya pepohonan di posisinya saat ini. Ia kemudian menaiki dan segera menyalakan mesin motornya.

"Ayo, kita cari," ucap Rania setelah memakai helm. "Tenang aja, Dok, langsing-langsing gini, saya kuat. Ayo naik."

Arvin langsung membonceng Rania tanpa ragu. Sepanjang perjalanan, mereka melihat kiri-kanan jalan bebatuan ini hanya ada pepohonan besar dan rindang. Dan Rania kemudian tidak berani menoleh kiri dan kanan saat melihat sesuatu hal ganjil di atas pohon mahoni. Arvin sepertinya tak melihat apa yang Rania lihat dan pria itu masih sibuk melihat kiri kanan.

"Sepertinya ada rumah di depan sana," ucap Arvin sambil menunjuk sebuah rumah yang dipasangi lampu kecil di depan rumahnya.

"Dokter yakin kalau itu dihuni manusia?" tanya Rania dengan ragu. Ia tak kunjung memasuki pelataran rumah itu walau motor yang dikendarainya sudah berada di jalanan selurus dengan rumah sederhana yang Arvin maksud.

"Diyakin-yakinin aja. Kalau bukan manusia yang huni, nanti kita baca doa. Ayo!"

Akhirnya Rania mau mengalahkan ketakutan dalam dirinya. Walaupun sejujurnya, ia benar-benar merasakan suasana ganjil itu. Rania terkadang peka dengan hal-hal gaib di luar nalar manusia.

"Jangan distandarin samping. Kamu turun, tapi tetap pegang stangnya. Kita standarin pakai standar utama," ucap Arvin.

Rania mengerutkan kening dan ia tetap mengikuti arahan Arvin. Kini, ia dibantu Arvin menarik stadar utama. Lalu, pria itu mengulurkan tangan kirinya. Rania menatap dengan bingung. "Pegang tanganku," jelas Arvin yang memberikan tatapan melindungi pada Rania.

Tanpa ragu-ragu lagi, Rania mengulurkan tangannya dan digenggam oleh Arvin. Ia merasakan lengket dari tangan Arvin dan hal itu sama sekali tak membuatnya jijik. Kini, Rania hanya percaya jika Arvin akan melindunginya.

"Permisi." Arvin mengetuk pintu. "Permisi. Kulo nuwun," ucap Arvin selanjutnya.

"Nggih."

Arvin dan Rania beradu pandang. Mulut Rania terbuka dan kepanikan menyerangnya. Pasalnya, suara yang menjawab salam dari Arvin adalah suara seorang pria paruh baya yang sangat berat. Bayangannya kembali pada sosok penampakan yang ia lihat di atas pohon tadi dan bulu kuduk Rania kembali berdiri.

Ringkihan suara pintu tua yang terbuka membuat Rania semakin erat memegang tangan Arvin. Bahkan, Rania sekali lagi mengedarkan pandangan ke sekitaran rumah dengan atap bergaya limasan ini. Ia berharap jika rumah ini tidak berubah wujud menjadi kuburan seperti dalam film-film.

"Madosi sinten, nggih?" Suara itu terdengar jelas dan menarik Rania untuk menatap pria paruh baya yang kini mengenakan kemeja batik dan lilitan sarung. Tubuhnya bungkuk dimakan usia. Kepala pria itu mengilat di bagian depan dan rambutnya hanya tersisa tipis di kepala belakang. Itu pun berwarna putih sepenuhnya.

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang