Bab 4

16.2K 1.1K 25
                                    

Rania benar-benar menjalani hari liburnya tanpa semangat. Di pagi hari yang seharusnya ia gunakan untuk ongkang-ongkang kaki sambil menonton kartun, kini harus ia gunakan untuk pergi ke rumah sakit seorang diri. Jika boleh jujur, pada awalnya Rania merasa berat menjalani salah satu rutinitasnya ini. Selayaknya wanita hamil, Rania harus pergi ke poli kandungan sembari menata hati dan degup jantungnya seorang diri. Maka dari itu, Rania sangat mengerti kenapa seorang wanita hamil akan sangat sensitif ketika mereka harus memeriksa kandungannya seorang diri. Sebenarnya, bukan hanya memeriksakan kandung, semua pemeriksaan yang dilakukan di rumah sakit dengan sendirinya memang akan membuat melodrama di dalam hati tiap pelakunya. Dan kini, Rania hanya mencoba mengalihkan pemikirannya. Ia meletakkan nomor antran, kemudian duduk dan setelahnya menghela napas panjang.

"Saudari Kirania Myesha Ulani," panggil seorang wanita yang duduk di bangku pemeriksaan sebelah pintu masuk poli kandungan. Wanita itu tersenyum ramah ketika melihat Rania berjalan mendekat, kemudian duduk di kursi depannya. "Mari kita cek dulu tekanan darahnya, ya, Mbak," ucap wanita yang kurang lebih usianya sama dengan Rania.

Diiringi senyuman, Rania mengulurkan salah satu lengannya. Dalam setiap pemeriksaan, Rania selalu menjalaninya dengan kooperatif dan selalu mampu menutup ketakutan dalam dirinya menggunakan seberkas senyuman. Setelah semua pemeriksaan awal dari tekanan darah sampai berat badan dilakukan, Rania diminta untuk kembali ke kursi tunggu.

"Hei... nama kamu siapa?" tanya Rania ketika menoleh di sisi kanannya dan ada seorang anak perempuan yang tengah meronta turun dari pangkuan ibunya.

"Rere, Tante," jawab ibunda dari balita tersebut yang mengenakan kerudung senada dengan putrinya. "Re, ayo salim sama Tante."

Rania langsung mengulurkan tangan dan disambut oleh balita bermata bulat besar itu. Senyum mereka melengkung secara bersamaan. Tiba-tiba, Rania menoleh ke sisi ruang tunggu di depan poli anak. Di sana terdapat beberapa keributan kecil. Keributan yang wajar, karena ada beberapa bayi dan balita yang menangis silih berganti. Dan salah satu wanita yang tengah menggendong bayi menangis itu, berjalan mendekat ke arahnya.

"Hei, jangan nangis, dong! Ganggu yang lain," omel wanita itu pada bayi dalam gendongannya.

Kening Rania berkerut. Tidak seharusnya seorang ibu menenangkan bayi dengan cara memarahi seperti itu, pikir Rania. Keterkejutan Rania semakin menjadi ketika melihat wanita itu memelototi bayi yang malah semakin keras meneriakkan tangisannya. Merasa iba pada bayi mungil itu, Rania segera beranjak dan mendekati wanita beserta bayinya.

"Adik bayi...." Rania mencoba melihat wajah bayi itu dan tersenyum lembut. Ia pun tak lupa memberi salam menggunakan senyuman pada wanita di hadapannya. "Anaknya sakit, ya, Bu?" tanya Rania dengan nada yang dibuat sehalus mungkin.

"Kurang tau, Mbak. Sejak kemarin rewel. Saya sama papanya sampai heran. Makanya papanya nyuruh diperiksain," keluh wanita itu.

Mendengar jawaban tersebut, Rania tersenyum canggung. Sekali lagi ia memperhatikan wanita di hadapannya sambil menerka usia wanita itu. 21 tahun? 22 tahun? Mungkin begini kalau seorang wanita yang terlalu muda harus menikah, tapi belum siap punya anak. Anaknya sakit bukannya khawatir malah ngomel. Eh, banyak juga sih wanita dewasa yang udah nikah, tapi belum siap ngasuh anak. Entahlah, mereka hanya tidak menyadari bagaimana orang lain harus banyak perjuangan buat sampai di titik yang mereka raih saat ini.

"Maaf, boleh tidak kalau saya gendong putranya?" tanya Rania dengan hati-hati. Ia tidak tega melihat bayi itu terus saja menangis.

"Boleh, Mbak," balas wanita di hadapan Rania dengan semangat.

Bayi itu berpindah tangan dan Rania tersenyum lebar menghibur bayi itu. Keajaiban terjadi. Tangis bayi itu langsung reda dan matanya terus saja menatap sepasang mata Rania. "Hei, nama kamu siapa, ganteng?" Rania kemudian menatap wanita di hadapannya yang mengenakan celana denim hitam panjang, kemeja kotak-kotak, dan mengikat rambutnya secara sederhana. Kemudian, ia kembali melempar senyum masam ketika melihat wanita di hadapannya sibuk memainkan ponsel.

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang