chapter twenty nine

1.2K 156 14
                                    

Di sebuah ruangan kamar yang gelap, dengan pencahayaan yang hanya berasal dari sinar rembulan, seorang pria cantik terduduk sembari menatap bayangannya sendiri di permukaan cermin.

Di depannya, ada sebuah lilin berwarna hitam yang tak lama kemudian dinyalakan olehnya hingga bayangannya makin terlukis jelas pada permukaan cermin.

Angin berhembus sepoi-sepoi dari jendela yang belum tertutup, membelai tengkuk pria cantik itu, membuat siapapun yang berada di dalam situasi itu bergidik merinding.

Tapi tidak dengan Nanette. Pria cantik itu tersenyum saat melihat bayangannya perlahan-lahan tergantikan oleh sesosok wanita yang dikenal olehnya.

"Irene!" Nanette tampak sangat senang saat sosok wanita penyihir itu melambaikan tangannya dari dalam cermin.

"Ada yang harus aku sampaikan, Nanette." dari raut wajahnya, Irene tampak memiliki sesuatu yang mendesak yang harus disampaikan olehnya. "Berhati-hatilah dengan Jeconiah."

"Jeconiah?" Nanette terkekeh saat mendengar nama suaminya disebutkan oleh wanita penyihir itu. "Orang lain memperingatkanku untuk berhati-hati pada Jasper, tapi kau justru memperingatkanku untuk berhati-hati pada suamiku sendiri? Ada apa sebenarnya?"

"Jasper?" gumam Irene mendengar nama yang tampaknya tak asing baginya. "Aah, anak itu. Anak yang kau ingin ambil sebagai putramu, kan?"

"Kau benar." Nanette mengangguk kecil menanggapi ucapan wanita penyihir itu.

"Anak itu sepertinya menyukaimu." Irene tertawa geli mendengar ucapannya sendiri. Tapi jangan salah, Nanette juga seusia Jasper saat dinikahi oleh Jeconiah, bahkan selisih usia diantara Jeconiah dan Nanette lebih jauh daripada selisih usia diantara Nanette dan Jasper.

Tak berselang lama akhirnya Irene menghentikan tawanya. "Kau memperlakukan Jasper seolah kau menyukainya, walau kenyataannya tidak. Tapi pada Jeconiah, kau tak bisa menutupi perasaan itu dariku."

Nanette menunduk, merenungi ucapan sosok wanita penyihir itu. Yang diucapkan oleh Irene memang ada benarnya, Nanette bisa saja melenyapkan suaminya itu setelah ia bertahta sebagai Ratu, tapi alih-alih melenyapkannya, hubungan mereka berdua justru semakin membaik, seolah mereka menikah tanpa paksaan.

"Nanette," pria cantik itu yang semula menundukkan wajahnya kembali mengarahkan pandangannya pada Irene. "Apa yang akan kau korbankan bukan hanya hidupmu, tapi lebih dari seluruh hidupmu. Sayangnya kau sudah terjerat di dalamnya. Kau bisa berhenti, tapi kau akan terluka. Lukamu tak sama baiknya jika kau melanjutkannya."

"Aku mungkin memang mencintai Jeconiah." Nanette yang matanya mulai berkaca-kaca mendengar ucapan wanita penyihir itu pun membuang muka. Benar seperti kata Irene, konsekuensinya memang berat jika Nanette melanjutkan rencananya, tetapi ia tak bisa berhenti di saat ini. "Tapi cintaku pada Deunia jauh lebih besar, katakan itu pada Raja Dagmar."

"Baiklah," Irene mengangguk kecil. "Tapi kau adalah pilihan Yang Mulia Raja, jangan kecewakan dia, Nanette."

Tak lama kemudian, wanita penyihir itu tiba-tiba teringat akan pembicaraannya dengan Raja Dagmar kemarin. "Nanette, kau tahu? Aku dapat pengelihatan. Aku takut Katarina akan menjatuhkanmu saat ia menjadi permaisuri."

"Aku sudah merencanakan itu."  kedua netra wanita penyihir itu sempurna membulat setelah mendengar ucapan Nanette. Nanette yang melihat raut wajah Irene yang terkejut itu lantas berkata "Aku akan menyelesaikannya dengan cepat, aku janji."

"Yang Mulia?" seseorang mengetuk pintu kamar Nanette sebelum akhirnya orang itu masuk ke dalamnya.

"Jovian!" Irene yang melihat sosok Jovian masuk ke dalam kamar Nanette lantas melambaikan tangannya pada pria itu.

FANTASIA | NOMIN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang