chapter twenty five

1.5K 173 9
                                    

"Ah lihatlah anak Bubu yang menggemaskan ini." Theodore tersenyum puas saat melihat pantulan bayangannya yang sedang menggendong tubuh mungil Sunny pada permukaan cermin.

Sementara itu Sunny yang digendong oleh Theodore sembari ia merangkul leher Bubunya itu pun kemudian berkata "Aah aku terlihat tampan kan, Bubu?"

Theodore tentunya tertawa kecil mendengar ucapan dari putra semata wayangnya itu. Sunny benar-benar mewarisi sifat narsis ayahnya. "Tentu, anak Bubu selalu tampan."

"Hei," Jeffrey yang sedari tadi berdiri dari kejauhan pun menghampiri mereka berdua dan melingkarkan lengannya pada pinggang istrinya itu. "Aku juga turut andil dalam membuat Sunny."

Theodore lantas memelototi suaminya itu setelah ia mendengar ucapan darinya. Ia kemudian menarik telinga Jeffrey hingga membuat suaminya itu mengaduh kesakitan dan kemudian berkata "Jaga ucapanmu, bodoh! Kalau sampai kelakuan Sunny sama parahnya dengan kelakuanmu akan kupastikan kau tidur di kamar tamu selama sisa hidupmu!"

"Aaggh! Baiklah, baiklah aku minta maaf." Theodore mulai melepaskan tangannya setelah melihat suaminya yang tampak kesakitan.

Sementara itu Sunny hanya tertawa dan bertepuk tangan melihat kedua orang tuanya yang bertengkar. Tampaknya anak laki-laki itu sangat menikmati pemandangan yang ada di hadapannya.

"Ayo," Jeffrey merangkul bahu Theodore dan menuntunnya untuk keluar kamar. "Upacara peringatan kematian mendiang ibuku adikku akan diadakan sebentar lagi."

Pasangan kerajaan itu lantas berjalan menuju kapel yang letaknya berada di luar istana. Beberapa orang sudah berkumpul dengan pakaiannya yang serba hitam. Bertangkai-tangkai bunga mawar berwarna hitam dibawakan oleh orang-orang itu sebagai simbol penghormatan kepada pengorbanan Mendiang Permaisuri yang mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan putranya yang sayangnya juga tak dapat lahir dengan selamat.

Orang-orang membungkuk saat pasangan kerajaan itu sampai di pekarangan kapel. Sunny dengan setia merangkul leher Bubunya yang sedari tadi menggendongnya. Pengasuh? Mereka tak memilikinya. Theodore selalu menginginkan kehadiran seorang anak dalam keluarga kecilnya, jadi meskipun mereka adalah anggota keluarga kerajaan, tak sedikitpun Theodore berniat untuk mempekerjakan seorang pengasuh untuk membantunya mengurus Sunny. Untuk apa dia memiliki Sunny kalau nantinya Sunny akan diurus oleh orang lain.

Jeffrey dan Theodore pun berjalan memasuki kapel yang tampak masih sepi. Bahkan ayah Jeffrey, Sang Raja belum terlihat kehadirannya di dalam kapel. Mereka berdua lantas terduduk kursi terdepan di kapel itu.

Pandangan Jeffrey tertuju pada seorang wanita yang tengah berlutut di depan altar sembari menautkan kedua tangannya. Terdapat sebuah untaian manik rosario diantara tautan kedua tangan wanita itu. Tak butuh waktu lama untuk Jeffrey mengenali sosok wanita itu.

"Irene Celesta?" Jeffrey berdiri seraya mengulurkan tangannya pada wanita itu setelah wanita beranjak bangun dan berbalik. "Lama tak bertemu."

"Paduka Pangeran," Irene tersenyum ramah pada Jeffrey seraya tangannya menyalami tangan Jeffrey. "Saya kemari untuk menemui Yang Mulia Raja, dan sekaligus untuk memberikan penghormatan saya kepada Mendiang Permaisuri. Tapi saya tak menemukan keberadaan Yang Mulia Raja di sini."

"Mungkin Yang Mulia Raja dalam perjalanan menuju kemari." ucap Jeffrey dengan ramah pada Irene.

"Mungkin Yang Mulia Raja sudah berada di luar kapel." Irene lantas melepaskan uluran tangannya pada Jeffrey lalu kemudian menundukkan wajahnya sejenak. "Kalau begitu saya pamit terlebih dahulu, Paduka."

Jeffrey mengangguk sembari tersenyum mempersilahkan Irene untuk keluar dari kapel. Ia memandangi punggung wanita itu yang kian lama kian menjauh sebelum akhirnya ia kembali terduduk.

Di luar kapel, tampak seorang pria yang rambutnya sudah memutih sempurna sedang berdiri jauh dari kerumunan orang-orang. Pria itu tak lain adalah Sang Raja yang tampaknya sudah menunggu kehadiran Irene.

Irene lantas menghampiri Sang Raja dan kemudian membungkuk sejenak padanya. "Yang Mulia, tampaknya ada yang ingin Yang Mulia sampaikan kepada saya."

Sang Raja melirik ke arah kerumunan orang-orang dan setelah ia memastikan tak akan ada yang dapat mendengar suaranya, Sang Raja pun bertanya "Bagaimana keadaan Nanette di sana?"

Irene menyunggingkan senyumannya pada Sang Raja dan kemudian berkata "Nanette telah menjadi Ratu yang bijaksana di Kerajaan Deunia. Saya bahkan tak menyangka anak manja itu bisa merebut tahta Ratu yang sebelumnya mustahil dilakukan oleh orang lain."

"Semuanya sudah direncanakan." ucap Sang Raja dengan lirih. "Kita perlu memastikan bahwa semua rencananya berjalan dengan lancar. Tugasmu adalah untuk menjaga Nanette dari ancaman yang akan membahayakan keselamatannya."

"Tentu, Yang Mulia." wanita penyihir itu mengangguk dengan penuh hormat pada Sang Raja.

"Katarina," Sang Raja mengalihkan pandangannya pada hamparan luas rumput yang menghubungkan pekarangan istana dengan pekarangan kapel. "Aku khawatir Katarina akan menjatuhkan Nanette."

"Ah, mantan pelayan itu." Irene mengangguk saat teringat akan sosok Katarina. "Saya juga mendapat pengelihatan tentang Katarina, Yang Mulia."

Rasa penasaran timbul dalam benak Sang Raja saat mendengar ucapan dari wanita penyihir itu. "Jelaskan pengelihatanmu itu padaku."

Irene menghela nafasnya panjang sebelum akhirnya berkata "Saya melihat Katarina dimahkotai oleh tiara Permaisuri sementara tangan Nanette berlumuran oleh darah. Tapi yang paling mengganggu bagi saya adalah kepala seorang gadis yang terpenggal, namun dari sorot matanya masih menunjukkan keangkuhan di dalamnya."

Wanita penyihir itu melayangkan pandangannya pada langit cerah yang menaungi istana Kerajaan Dagmar. Setelah menjeda ucapannya beberapa saat, Irene kembali berkata "Seluruh anggota The Witch mencoba menafsirkan pengelihatan saya namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil."

"Saya khawatir, Yang Mulia." pandangan Irene kini beralih pada pria tua yang berdiri beberapa langkah di depannya. "Saya khawatir Nanette tak akan bisa bertahan dari semua ini. Ini pertempuran yang melibatkan hidup dan mati. Jika Nanette sampai salah mengambil langkahnya, saya khawatir saya tidak lagi cukup kuat untuk berada di sisinya melindunginya."

"Nanette pasti berhasil." ucap Sang Raja tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku percaya dia pasti berhasil. Dia adalah anak pilihan. Aku tidak memilih Jeffrey, tapi aku memilihnya untuk mengemban misi mulia ini. Masa depan kita semua ada di tangannya."

"Keputusanmu untuk menarik pasukan dari Deunia sudah tepat, Irene." Sang Raja lantas berbalik dan menatap wajah wanita penyihir itu. "Kau membantu Nanette mencapai tahta Ratu. Yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah membantu anak itu menggenggam apa yang bisa ia genggam."

"Bolehkah saya bertanya, Yang Mulia?" Sang Raja mengangguk mempersilahkan wanita penyihir itu untuk melanjutkan ucapannya. "Seberapa pentingnya misi ini sampai-sampai Yang Mulia mengorbankan segalanya, bahkan kebahagiaan Yang Mulia Raja sendiri demi tercapainya misi ini?"

Sang Raja memajukan langkahnya menghampiri wanita penyihir itu. Ia menepuk pundak Irene sebelum akhirnya berkata "Sejak aku bertahta, aku bersumpah untuk membalaskan dendam para Raja pendahulu atas kekalahan yang dialami oleh Kerajaan ini. Aku ingin menepati sumpahku. Akan kulakukan segala cara sampai titik penghabisanku agar misi ini tercapai."

"Jangan biarkan seseorang yang Yang Mulia cintai menderita, Yang Mulia." bisik Irene sebelum akhirnya ia menggunakan mantranya untuk berteleportasi.

To be continued.

FANTASIA | NOMIN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang