16. Dinner

748 103 3
                                    

Feby membentuk downward smile dengan mata yang melirik ke samping. "Permainan?" Ia terkekeh. "Bukannya emang udah mulai?"

Lelaki tertawa kecil, "Mayat Chelsy dikemanain?"

"Mana kutau."

"Kurang jauh loh nyembunyiinnya. Jarak segitu beresiko banget!"

Gadis itu menatap lawan bicaranya dengan lebih intens. "Potongan-potongan tubuh mereka, dikemanain?" Tanyanya dengan pertanyaan serupa.

Tak ada raut panik sedikitpun di sana. Lelaki itu masih mempertahankan senyuman santainya di hadapan Feby. "Sebenernya ini gak asyik. Aku kira permainan ini bakal berlangsung lama gara-gara kamu juga bakal lama taunya. Tapi ternyata, aku bener-bener salah, ya! Gimana sih, cara kamu nyimpulin semua ini? Atau jangan-jangan, kamu sengaja mau jerumusin aku ya biar cuma aku yang salah?"

"Heh, Panjul!"

"Egar, Feb, Egar..."

"Iya itu pokoknya! Jerumusin apa ai kamu? Emang dengan aku ngomong kayak gini doang, kamu bakal jadi satu-satunya orang yang disalahin? Kalo iya sih, udah dari dulu aku kasih tau. Jujur ya, cara main kamu sebenernya udah rapi, cuma kalo yang kamu ajak main itu aku, lebih ditingkatin lagi ya kerapihannya! Masih berantakan soalnya."

Egar terdiam sebentar, namun kembali menampilkan senyumannya. "Kamu kayaknya emang panutan buat aku, ya! By the way, tujuan kamu datengin aku tadi, buat nanya ngapain aku ngintipin kamar kamu?"

"Aku gak bilang kamu ngintipin kamar aku. Aku cuma bilang, ngapain semalem kamu ke rumah aku. Nah kan, yang kayak gini-gini aja kamu tuh masih kurang pinter! Yang lebih beresiko itu kamu! Kalo ngobrol sama detektif beneran, udahlah kelar idupmu."

Lelaki itu berdecak, "Lama-lama aku beneran jengkel loh sama kamu."

Feby hanya manyun.

"Intinya kamu nanya itu, kan? Kayaknya kamu tau apa maksud aku. Gak perlu aku repot-repot buat jelasin. Lagian, hari ini aku sibuk."

"Hilih, kesibukan kamu gak jauh-jauh dari ngumpulin tangan, kaki, mata, otak, jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan blablabla lainnya. Pantesan jadi orang kaya dan bisa beli sepatu itu." Tunjuknya menggunakan mata pada sepasang sepatu yg dipkai lelaki itu. Gadis itu tiba-tib kembali mengingat akan hal yang sudah lama, "Ya, gak jauh beda sama Papa." sambungya lirih.

"Gak ada urusan juga, kan, sama kamu? Yang penting aku gak ambil 'buruan' kamu. Udah, ya, aku pergi dulu! Hati-hati di jalan nanti ketemu yang serupa, hahahah!" Edgar pun melangkahkan kaki panjangnya meninggalkan Feby yang hanya bisa berdecak.

"Aku emang tau tujuan kamu semalem dan gak harusnya kamu lakuin yang satu itu kalo hidup kamu gak mau kepotong-potong juga."

****

Krek... Krek...

"Ishhh! Tau gak sih?? Beban pikiran aku bertambah sekarang! Belom beres mikirin tugas, udah ada yang harus dipikirin lagi!"

Krek... Krek...

"Ini juga! Kenapa daging kamu keras banget?! Hih! Gak jawab lagi! Udah gak ada nyawanya, kah?" Feby mendorong tubuh bersimbah darah itu dan meletakkan pisau di samping kakinya. Gadis itu duduk memeluk lutut sembari memandangi si jenazah dengan tatapan kosong. "Kali ini gak puas banget rasanya..." Tangannya bergerak menekan-nekan paha jenazah itu yang sudah koyak.

Tiba-tiba, terlintas di benaknya untuk mendatangi kembali tempat yang pernah membuatnya penasaran setengah mati. "Pasti rumah itu ada hubungannya."

***

Feby sudah sampai di depan rumah itu. Rumah yang ia temukan alamatnya di buku catatan yang ia beli tempo hari saat pertama kali bertemu dengan Eirlys. Rumah itu masih menjadi teka-teki baginya. Ada yang tidak beres dengan rumah itu maupun buku yang dibacanya. Dan sekarang, teka-teki itu seolah mulai menemukan jawabannya sedikit demi sedikit.

Ending My EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang