"Kenapa sih, hahh??!!! Kenapaaa???" Eirlys panik melihat darah yang mengucur deras dari pergelangan tangan gadis itu. "Bisa gak sih kamu gak bikin aku tambah marahh?!!" Gadis itu semakin menangis dan berusaha membalut tangan itu menggunakan sobekan bajunya.
"Jangan!"
Eirlys menghentikan aksinya.
"Tolong biarin aku mati." Wajahnya semakin memucat. Luka dan darah lain yang didapatnya saat perkelahian juga membuatnya semakin lemas. Terutama, darah di pergelangan tangan yang tak kunjung berhenti keluar.
Urat nadinya benar-benar terpotong, dan itu membuat darah yang keluar dari sana sangat banyak.
"Kamu pikir aku bakal ikutin omongan kamu?!" Eirlys terus menahan darah itu agar tidak terus keluar.
Sesekali ia juga meminta bantuan yang lain namun harus urung karena Feby yang membentak dan mengacungkan pisaunya.
"Jangan mendekat!"
Hal itu membuat semua orang kembali mundur.
"Kamu bisa gak sih gak kayak gini... Aku bener-bener gak ngerti sama kamu, Feb... Hiks, kenapa sih... Hhh..." Eirlys juga tak henti-hentinya menangis.
"Aku bukan orang baik. Aku terlalu bahaya buat kamu. Aku... aku udah gak punya kehidupan lagi sekarang... hhh... Aku... udah ngakhirin hidup aku sendiri dengan ngebiarin orang tua aku meninggal."
"Kamu pasti bisa berubah kalo ditanganin orang yang tepat... Kamu bisa sembuh kalau ternyata ini cuma penyakit... Just... don't die."
Bruk!
"Feby!!"
Feby menjatuhkan tubuhnya pada pelukan Eirlys. Gadis itu semakin melemah, bahkan untuk sekedar membuka mata pun ia hampir tak sanggup.
"Tolong tetep buka mata kamu, Feb... Polisinya kenapa lama banget, sihh?!!! Dimana mereka, hahhh?!!!! Mana ambulannn?!!!"
Yang lain hanya bisa memberi kode bahwa polisi maupun ambulan sudah mulai dekat.
"Feby please bangun... Tolong tetep sadar... Kamu masih punya kehidupan, jangan tinggalin aku... Hhhh.... Tolong, Feby... Hiks."
Alicia yang sedari tadi hanya diam, akhirnya mendekat dan berusaha menenangkan sang adik. Ia juga mencoba untuk memeriksa kondisi Feby yang terus menurun. "Feby masih hidup... Kita pasti bisa selametin dia... Semoga ambulan sebentar lagi dateng."
"Hiks hiks, aku mohon jangan pergi secepet ini, Feb... Kita bisa atasin ini bareng-bareng... Aku mohon..."
Dalam dekapan Eirlys, Feby tersenyum kecil. Napasnya mulai tersenggal dan wajahnya semakin memucat. "Sayang..."
Eirlys merapikan anak rambut Feby. Ditatapnya dengan lekat gadis yang tengah ia dekap itu. Cinta pertamanya.
"Aku pergi bukan buat mati... Hhhh.. Aku pergi buat bahagia dan bikin kamu bahagia..."
Tangisan Eirlys semakin kencang. "Enggak! Aku gak bakal bahagia kalo kamu pergi!!!"
"Kamu tenang aja... Aku yang milih ini... Hhhh..." Nafasnya semakin tersenggal, "I choose to ending my end...." Matanya perlahan tertutup rapat.
"Gak gak gak!! Buka mata kamuuu!! Febyyy!!" Gadis itu semakin histeris.
"My eyes are close, but all I see is you..." Ucap Feby dengan senyum terakhirnya.
"FEBYYY!!! FEBYYY TOLONG BANGUNNN!!! WAKE UP!!! FEBYYY!!! AAARRHHH FEBYYY!!!"
Semua ikut panik dan langsung mengerumuni gadis itu bertepatan saat serine ambulan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending My End
Teen Fiction(Completed) Mereka menyebutnya gadis yang cantik, baik, sopan dan penyayang. Mungkin memang benar. Tapi, ada satu fakta yang tidak mereka ketahui. Entah dengan atau tanpa alasan, diam-diam dirinya sering melakukan hal yang membuat seseorang kehilang...