Haknyeon tidak ingin bertemu siapa-siapa. Ia hanya diam. Duduk dengan bangku di depan jendela kamar. Ia tidak makan. Tidak juga minum. Bergerak pun ia tidak bisa. Matanya sembab, menatap lurus ke arah jalanan kompleks yang lengang karena waktu baru menunjukkan pukul dua pagi.
Beban di pundaknya terlihat begitu nyata dan jelas mencabik. Merobek rongga dada dan menciptakan luka menganga di hatinya. Hidupnya sekarang telah jauh berubah.
Haknyeon kacau. Ia kehilangan kebahagiaannya hanya dalam hitungan jam. Hidupnya sekarang terasa seperti mimpi buruk. Jika bisa meminta, ia ingin segera dibangunkan. Mengakhiri segala kelabu ini dan menjemput bahagianya dengan Sunwoo. Sama seperti apa yang ada dalam angan mereka. Sama seperti apa yang ada dalam impian sederhana keduanya.
Tapi, sampai dadanya sesak dan ia nyaris mati, Haknyeon tak kunjung keluar dari mimpi buruknya. Ia tidak bisa lagi kembali, membuka mata, dan menyadari Sunwoo masih bersamanya. Karena sebagian dirinya tahu, kematian itu nyata.
Kemarin, ia masih bisa menggenggam tangan Sunwoo, masih bisa mendengar suaranya, degup jantungnya, lingkar lengannya, hangat peluknya, hingga ritme napasnya.
Setelah itu, semuanya hilang begitu saja.
Rasanya, seperti sedang dipermainkan oleh takdir. Kemarin, ia memiliki segalanya, dan hari ini, ia tidak punya apa-apa. Haknyeon menekuk lututnya, lalu membenamkan kepalanya ke sana.
Bersamaan dengan itu, tangisnya pecah. Bahunya bergerak naik turun. Isak yang dua hari belakangan tidak bisa ia tunjukkan, akhirnya keluar malam ini. Ia mendekap lututnya kuat-kuat. Sampai kukunya terasa menusuk. Sakit.
Tapi, hatinya lebih sakit.
"Sonu...." Suaranya sangat lirih. Untuk pertama kali. Sejak kepergian Sunwoo, Haknyeon bisa menyebutkan namanya lagi. "Sonu...." Mengemis pada takdir agar Sunwoo kembali lagi.
Seokjin yang mendengar suara isak tangis dari putranya, langsung keluar kamar menuju kamar Haknyeon. la langsung memeluk tubuh Haknyeon dan pemuda manis itu membalas pelukan mamanya.
Seokjin tidak pernah melihat anaknya sedemikian sedih. Sampai tidak bisa berkata-kata dan menangis. Haknyeon tidak pernah begini. Haknyeon tidak pernah merasakan kehilangan sedalam apa yang ia alami sekarang. Dan anak laki-laki manisnya itu akhirnya bicara malam ini.
"Sonu mana, Ma?" tanya Haknyeon. Tubuhnya bergetar hebat dalam pelukan ibunya. Itu membuat Seokjin semakin cemas. "Ma, aku mau ketemu Sonu."
"Haknyeon...." Seokjin mengeratkan pelukannya. Ia mengusap punggung putranya. Menguatkan. Bagaimanapun caranya, ia ingin Haknyeon menerima kepergian Sunwoo. "Nggak boleh kamu kayak gini. Kasian Sunwoo, Nak. Anak Mama harus kuat. Nggak boleh kayak gini terus."
Haknyeon tidak menjawab. Tapi, isaknya yang terdengar jelas, masih menggambarkan bahwa luka yang ia derita sangat dalam. Matanya terpejam erat. Bibirnya terus meracau mengumamkan nama Sunwoo.
"Sunwoo mana, Ma?" Seokjin tidak menjawab karena menangis. Sama halnya dengan Haknyeon. la tidak bisa menahan isaknya lagi. "Ma?"
"Udah ya sayang Udah."
"Sonu di mana, aku mau ketemu-" pintanya terbata.
"Nggak bisa," kata Seokjin parau.
"SUNWOO DI MANA, MAMA?! HAKNYEON MAU KETEMU!" teriaknya frustrasi.
"Sadar Haknyeon! Sunwoo udah meninggal!"
💤
Ruangan yang didominasi warna abu-abu itu terlihat hening. Padahal, di dalamnya ada beberapa orang. Suasana kalut sedari tadi belum juga hilang. Hal itu membuat Eric merasakan kamar sahabatnya, Sunwoo, menjadi terasa pengap.
KAMU SEDANG MEMBACA
FARESTA •| SunHak
Teen Fiction{ Long Story } (END) Di suatu kejadian yang akhirnya mempertemukan Rayshiva Haknyeon Faresta dengan seorang Sunwoo Asmaralaya Kawindra hingga membuat keduanya bisa memahami dan mengerti apa yang di maksud perasaan 'Benci menjadi Cinta'. Tetapi seiri...