» 28 «

168 25 0
                                    

Hujan masih mengguyur sejak sore tadi. Sekarang sudah hampir pagi dan Sunwoo masih setia duduk dengan punggung yang bersandar pasrah pada bibir kasur. la enggan memejamkan mata dan masih belum mau merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi. AC di kamar bertembok abu-abu itu sudah mati sejak tiga jam lalu. Kini, kamar itu dipenuhi asap rokok, entah sudah berapa batang rokok yang dihisap Sunwoo semalaman ini.

Wajah Haknyeon rasanya ada di mana-mana. Di asbak yang ia letakkan di sisi kiri, di dinding-dinding kamar, di langit-langit kamar, di balik jendela, di pintu, bahkan di secangkir kopi yang satu jam lalu ia minum.

Sunwoo tahu, apa yang ia katakan tadi sore memang membunuh harapan seseorang. Bahkan bisa dibilang sangat amat membuat sakit.

Tapi, Haknyeon tidak tahu bahwa satu-satunya orang paling terluka saat ini adalah Sunwoo sendiri.

Sunwoo tidak berbohong. Ia memang mengiyakan permintaan Sunoo tadi pagi. Sunwoo memutuskan menerima pemuda manis itu sebagai kekasihnya dan ia berniat melupakan Haknyeon. Ia tahu pilihannya itu jahat dan jelas bodoh. Ia mengorbankan orang lain hanya untuk menghindari orang yang ia cintai terluka.

Walaupun pada akhirnya Haknyeon juga merasakan sakit, tapi setidaknya tidak separah jika Sunwoo memilih terus bersamanya.

💤

Kriiiing!

Bel tanda jam keempat berakhir baru saja dibunyikan. Seluruh murid SMA Creker berhamburan dari kelas mereka. Koridor yang tadinya sepi langsung berubah ramai dengan suara decit sepatu, tawa beberapa orang, dan hiruk pikuk percakapan.

Sebagian dari mereka langsung menuju kantin karena kondisi perut yang tidak bisa diajak kompromi. Sisanya memilih ke lorong loker lebih dulu untuk meletakkan tas atau menyimpan buku yang mereka bawa.

Haknyeon berjalan gontai keluar dari kelas Bahasa Indonesia. Lagi-lagi, alasannya sama, karena Sunwoo tidak ada. Dan yang lebih membuatnya kehilangan separuh semangat adalah cowok itu bukan hanya membolos kali ini. Tetapi, namanya memang sudah tidak ada lagi dalam daftar absensi.

Ini sudah lewat tiga hari sejak Sunwoo meminta Haknyeon untuk menjauh. Menjalani kehidupannya seperti dulu, sebelum mereka saling mengenal. Dan selama tiga hari ini pula, pemuda manis itu masih tidak bisa berhenti memikirkan Sunwoo.

"Nyeon," panggil seseorang dari arah belakang. Dengan perasaan malas, Haknyeon terpaksa menoleh. Alisnya mengerut, dan berhenti melangkah begitu melihat Yeonjun, mantan ketua OSIS, berlari ke arahnya.

Anehnya, Haknyeon justru mengharapkan yang memanggilnya tadi adalah Sunwoo.

Bodoh memang. Mana mungkin cowok itu muncul, sementara ia bukan lagi murid di sekolah ini?

Haknyeon kembali tersadar dari lamunannya begitu Yeonjun sudah berdiri tepat di depannya. Haknyeon tahu ada hal penting yang ingin disampaikan anak lelaki bertubuh lebih tinggi darinya itu.

"Apa?" tanya Haknyeon.

"Gue lagi ngumpulin anak-anak OSIS angkatan kita nih," ujarnya dengan napas yang tersengal.

"Buat?"

"Itu. Buat acara pensi." Yeonjun menggaruk tengkuk lehernya sebentar. "Jadi, anak OSIS yang sekarang kekurang orang."

"Terus minta bantuan ke anak kelas dua belas gitu?" tanya Haknyeon.

"Ya gitu Nyeon. Lagian juga ini kan Lustrum. Pasti acaranya gede-gedean dan butuh panitia khusus."

"Iya sih." Haknyeon manggut-manggut. "Terus gimana?"

"Makanya dari kemaren gue nyari lo tapi nggak ketemu. Si Taehyun nggak mau ribet ngumpulin anak-anak angkatan kita. Jadinya dia minta tolong ke gue. Soal panitia dari kelas dua belas, diambil dari mantan-mantan OSIS aja."

FARESTA •| SunHak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang