Haii...
Bersyukur dengan yang dimiliki. Ikhlas dengan apa yang telah terjadi. Sabar dengan apa yang sedang dijalani.
Hanna An Nazwa
***
"Akui saya sebagai istri kamu. Akui saya di depan teman-teman kamu. Saya tidak mau disembunyikan. Saya mau teman-teman kamu tau bahwa kamu memiliki saya. Saya takut kamu mengaku masih sendiri, karena sekali saja kamu mengatakan itu, maka kamu sudah menalak satu saya, Lif."
"Ma-maksud lo apa?" tanya Alif gagap. Dia tidak menyangka kenapa yang dikatakan Hanna bisa sama persis dengan yang dikatakan Hanan. Dan kenapa hal itu baru ia ketahui saat dia sudah resmi menjalin hubungannya kembali dengan Calista.
Dan setelah dipikir beberapa detik lalu, Alif baru menyadari, kenapa dia bisa semudah itu menerima ajakan Calista untuk bersama lagi. Bukankah semuanya akan menjadi semakin rumit sekarang?
Calista pasti akan menagih janji Alif tentang prioritasnya. Sementara di sisi lain, Darka, Papahnya menyuruhnya untuk selalu berada di sisi Hanna. Membantu wanita itu sembari menyusun rencana usaha barunya.
"Bego!!" lirih Alif menjambak rambutnya frustasi.
"Lif, kamu nggak papa?" panik Hanna memegang pundak Alif, "eh, maaf," lanjutnya menarik tangannya kembali, menyadari apa yang ia lakukan. Ingat, Alif belum mau disentuh oleh Hanna.
"Semua gara-gara lo, bangsat! Pulang sendiri!!" marah Alif meninggalkan wanita itu sendirian.
"Saya. Saya salah apa," lirih Hanna memandangi suaminya yang dengan cepat hilang dari pandangan.
"Ah iya, saya salah, saya salah karena tetap menerima kamu." Hanna mengusap air matanya yang tiba-tiba saja turun. Dia tidak mau terjebak dalam rayuan setan. Jika dia tetap menangis dan menyalahkan dirinya sendiri, semuanya pasti akan merembet semakin panjang. Pikirannya akan dikuasai, sampai akhirnya dia bisa saja menyalahkan Tuhan atas takdirnya.
"Saya kuat. Saya pasti bisa melewati ini semua," lirih Hanna lagi, menguatkan diri.
***
"Bang, gue mau nanya!!" seru Alif begitu masuk ke dalam kamar Abim, tanpa mengetuk, tanpa salam seperti biasanya.
"Orang tuh ketuk dulu. Salam dulu. Untung gue orangnya nggak aneh-aneh, ya, Al." kata Abim geleng-geleng kepala.
"Alah, kaya sama siapa. Lagian yang begini gue doang. Ini gue mau nanya, lo ada waktu nggak?"
Laptop yang tadinya masih menyala sudah dimatikan, Abim memutar kursi, mengangkat dagu menyuruh Alif duduk. "Penting banget kayanya," ujarnya penasaran.
"Aduh gue mulai dari mana, ya." Alif bingung sendiri, mengetukan kaki sambil berpikir kalimat mana yang pas untuk diucapkan.
"Jadi gini, Bang, emang kalau kita ngaku masih sendiri padahal udah punya istri jatuhnya talak, ya?" tanya Alif lirih disertai ragu dan malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PHOSPHENES (END)
Spiritual"Gue, jatuh cinta sama lo? Mustahil!!" --Alif Jenggala Putra "Saya serahkan rumah tangga kita sama kamu. Kamu kepala rumah tangganya, kamu juga yang menentukan kita akan berakhir menjadi seperti apa." --Hanna An Nazwa. "Saya menyesal." --Alif Jengga...