16. Istirahat atau Menyerah

4.5K 310 41
                                    

Hai-hai...

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Padahal Hanna sengaja memperlama waktunya di kamar, sambil terus menguatkan diri untuk tidak menangis kembali. Tapi pertahanannya runtuh seketika, saat ketiga pasang mata menatapnya penuh melas, menunggu di ujung tangga bawah.

Air mata yang sempat reda kini menderai kembali. Tubuh ringkihnya dipeluk hangat Thalia yang memang sudah lama menunggu untuk segera mendekap menantunya itu.

"Maaf, Mah, Hanna cape. Hanna boleh istirahat, kan?" lirih Hanna dalam tangisnya.

"Boleh, Nak, boleh. Kamu boleh istirahat atau bahkan berhenti sekaligus. Harusnya Mamah yang minta maaf, Na. Harusnya Mamah tidak perlu memohon sama kamu untuk melanjutkan pernikahan ini, disaat kamu sedari awal memang ingin membatalkannya. Maaf, ya, Na. Maaf," balas Thalia tak kalah sesaknya. Andai saja saat Hanna tiba-tiba mengubah keputusan untuk tidak jadi menikah dengan Alif iya sanggupkan dengan ikhlas, pasti hari ini tidak akan pernah terjadi.

"Kalian sudahi saja ya, Na. Biar Papah yang urus semuanya," imbuh Darka.

Hanna melepas pelukannya, menghapus air mata yang mengalir di pipi. "Hanna hanya ingin istirahat, sebentar saja. Untuk yang itu, nanti saja ya, Pah. Hanna masih harus membantu Alif membangun bisnisnya lebih dulu. Hanna harus menepati janji Hanna."

"Na, nggak perlu. Untuk bisnis biar saya yang bantu urus!" seru Abim. Ia ingin cepat-cepat Hanna lepas dari adiknya.

"Enggak, Kak. Hanna sudah janji. Ini juga sebagai balas budi Hanna terhadap Alif. Kalau saja dulu Alif tidak menyelamatkan Hanna, Pasti Hanna nggak akan di sini sekarang. Pasti Alif masih bisa mengingat semua tentang masa kecilnya."

Dulu, jauh sebelum mereka bertemu kembali, Hanna dan Alif adalah sepasang sahabat yang saling menyayangi satu sama lain. Pernah terlontar dari bibir Alif, bahwa ia akan terus bersama Hanna hingga dewasa. Menjaganya sepenuh hati hingga akhir hayat.

Namun semua yang dilontarkan Alif pupus seketika, setelah ingatan lelaki itu hilang karena sebuah kecelakaan. Hanna yang hendak menyebrang jalan tanpa menengok kanan dan kiri, hampir tertabrak truk andai saja Alif tidak menarik dan menggantikan posisinya. Dua minggu Alif kritis, dan saat terbangun, memorinya dari lahir sampai usia dua belas tahun hilang. Dia lupa tentang keluarganya, dia lupa tentang Hanna dan segala janjinya.

"Na, itu musibah. Takdir Tuhan. Kamu tidak harus merasa bersalah," lontar Thalia.

"Hanna tau itu takdir, tapi tetap saja, andai dulu Hanna lebih hati-hati, pasti Alif tidak akan menjadi sekasar ini. Dia pasti akan menjadi pria baik untuk siapapun." Hanna menunduk. Andai saja, ya, andai saja kejadian itu tidak pernah terjadi. Mungkin, Hanna menjadi salah satu perempuan yang dihargai oleh Alif.

Hanna ingat betul, bagaimana Alif selalu memeluknya saat ia merasa sedih karena harus terus-terusan mengalah pada Hanin. Dan Hanna juga ingat betul, saat Alif memintanya dipeluk karena ia lelah dibandingkan dengan Abim yang lebih unggul dalam hal akademik. Sebuah rasa cemburu Alif, yang dulu hanya diketahui oleh Hanna seorang.

PHOSPHENES (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang