Hai.. hai...
Malem all...
Dirgahayu Republik Indonesia ke 77 tahun 🇮🇩*
*
*Sayup-sayup angin berhembus menggelitik permukaan kulit. Hawa dingin menyerang masuk hingga ke tulang. Padahal jam masih menunjuk angka lima, namun udara sudah dipenuhi oleh kabut putih.
Hanna yang tidak biasa berada dalam lingkungan seperti ini mulai menggigil. Dia, Alif serta Banu sedang berada di gudang produksi kopi milik Banu. Melihat bagaimana proses pengolahan biji kopi menjadi kopi bubuk yang siap dijual.
"Sebenarnya panen masih dua minggu lagi. Jadi belum saya tunjukkan semuanya sama kalian," kata Banu memecah keheningan.
"Nggak papa, A. Kita juga nanti ke sini lagi," jawab Hanna, mengusap kedua tangannya, mencari kehangatan.
"Kedinginan, Na? Memang lagi musimnya, sih. Suhunya bisa turun lagi ntar malem. Nih, pake jaket saya saja buat angetin," kata Banu memberi tawaran.
Alif merangkulkan tangannya dengan cepat pada bahu Hanna. "Nggak usah. Pakai tangan saya udah cukup." katanya sambil mengusap lengan istrinya itu.
Banu mengangguk, kembali memakai jaketnya. Ketiganya berjalan beriringan keluar gudang. Kabut yang menyelimuti membuat matahari sore sama sekali tidak nampak.
"Udah kesorean kalo mau liat kebun kopi. Mending besok aja ya, Na," ujar Banu.
"Kalau besok nggak bisa. Kita mau langsung pulang."
"Nggak cape. Kenapa nggak nginep aja. Okelah kalau nggak jadi liat kebun kopi, tapi kamu harus liat cafe-cafe di Bandung kota. Sekalian cari referensi. Mau saya kasih tau beberapa coffee shop hits nggak?"
"Maaf, ya. Kita mau langsung pulang. Lain kali mungkin bisa," sela Alif menjawab. Pipinya mengembang, matanya menyipit, sudut bibirnya tertarik panjang. Nampak jelas bahwa itu adalah senyum yang dibuat-buat.
Banu mengangguk. Melirik Hanna dengan senyum yang bisa dikatakan senyum menggoda. Menggoda Hanna karena memiliki suami super posesif seperti Alif.
"Gitu, yah. Sebentar, sebelum pulang, saya mau bawakan beberapa bungkus kopi. Oleh-oleh," kata Banu langsung pergi sebelum dicegah Hanna karena merasa merepotkan lelaki itu.
Perginya Banu mengendurkan tangan Alif perlahan. Jika bukan karena ditarik kembali oleh Hanna, tangan Alif tidak mungkin di atas bahunya kembali.
"Tidak baik mengambil apa yang sudah diberi," kata Hanna menahan tangan Alif.
"Cari kesempetan lo."
"Ya kan, kamu yang ngasih. Kalo nggak mau yaudah. Nanti biar pinjem jaketnya Aa Banu aja."
"Nggak usah centil." Tangan Alif benar turun dari bahu Hanna, namun digantikan dengan genggaman pada jemari lentik wanita itu, "pegel lengan gue. Badan lo kelebaran. Gini aja lebih enak."
KAMU SEDANG MEMBACA
PHOSPHENES (END)
Spiritual"Gue, jatuh cinta sama lo? Mustahil!!" --Alif Jenggala Putra "Saya serahkan rumah tangga kita sama kamu. Kamu kepala rumah tangganya, kamu juga yang menentukan kita akan berakhir menjadi seperti apa." --Hanna An Nazwa. "Saya menyesal." --Alif Jengga...