43. Ambil Kembali

3.1K 253 45
                                    

Heihei.. malem Replo..
Maaf banget nih baru balik, sedang mode sibuk di rl...

Update kali ini sampa 3.7++ kata,
Jangan lupa ramein dengan voment kalian ya...

***

"Assalamualaikum...." ini adalah salam kedua Alif. Salam yang masih membuat dua manusia terdiam membeku di ambang pintu.

"A-Alif!!!" teriak seseorang dari dalam rumah. Thalia tertegun saat salam pertama mengusik telinganya. Masih belum menyadari bahwa suara itu benar dari Alif, bukan dari bisikan hati yang merindu. Dan saat salam kedua itu kembali mengusik, dia buru-buru beranjak. Putra dan mantunya yang tiba-tiba kaku membuatnya melangkah tanpa ragu.

Akhirnya tangan yang sedari tadi merentang begitu lebarnya berganti juga. Wanita separuh baya dengan rambut sebahu yang terkuncir bawah lah yang buru-buru menggantinya menjadi peluk. Pelukan rindu yang begitu erat sampai air mata yang berada di ujung pelupuk menetes begitu derasnya.

Peluk yang berangsur lama. Tak puas sampai sana, Thalia kini berusaha memastikan lagi keadaan putranya itu yang selama dua tahun sudah tak nampak rupanya. Memijat lengan, meraba wajah, memutar tubuh, wanita itu lantas memeluk kembali. Dia lega, sejauh pengecekannya, putranya itu baik-baik saja fisiknya. Bahkan jauh lebih segar dengan pipi yang bertambah chubby.

"Mah, cukup?" tanya Alif kesusahan. Dia akan kehabisan napas kalau pelukannya tak kunjung dilepas.

"Belum. Tapi Mamah bakal lepas. Kasihan kamu." Penuh haru. Thalia tersenyum dan menangis bersamaan dengan jemari yang mengusap lembut wajah Alif, "kamu tambah ganteng." ucapnya mencubit pipi chubby putranya itu.

Tangan Thalia diraih, digenggam balik oleh Alif. Rasa bersalahnya mendadak hadir kala ia melihat lebih lekat wajah wanita di depannya. Dia sendiri hidup sehat, makan teratur meski tidurnya sering tak nyenyak. Namun berbanding terbalik dengan Thalia yang kurus, keriput di ujung matanya kian bertambah dan rambut putih yang dulu begitu jarang kini malah jelas terlihat.

Entah sudah berapa waktu makan yang terlewat, entah sudah berapa malam tanpa lelap, sungguh Alif menyesal meninggalkannya selama dua tahun hanya dengan sebuah surat yang setiap bulan dia kirim. Hanan benar, suratnya tak cukup memberi tenang.

"Maafin Alif ya, Mah," lirih lelaki itu, mencium tangan Thalia.

"Tidak ada kesalahan yang harus dimaafkan. Setiap orang bebas pergi dan melakukan apapun untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Untuk mendapat bahagianya kembali."

"Mamah saja yang terlalu lemah sampai tidak bisa jauh dari kamu. Maafin Mamah kalau keadaan Mamah sekarang membuat kamu jadi khawatir. Mamah sehat, sangat sehat apalagi setelah melihat kamu di sini."

Kalimat yang begitu lembut dan menenangkan itu terdengar syahdu di telinga putra bungsu namun tidak untuk putra sulung.

Abim tertegun, kepalanya berisik dengan berbagai tanya. Apa Thalia akan sama sedihnya kalau dia pergi? Kenapa Thalia tidak juga mendukung langkahnya yang sedang mencari bahagia? Dan, apakah dia akan hidup terpuruk kembali ketika putra pertamanya tiada?

PHOSPHENES (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang