Yin Yang

497 110 20
                                    

Athala menaruh dua kardus paket milik Amba di pojok kamarnya. Agak lama dia berdiri mengamati kardus itu, menimbang-nimbang haruskah dia mengatakannya pada Alia yang jelas-jelas teman dekat Amba atau keep on secret untuk dirinya sendiri? Athala bisa saja menghubungi Amba menanyakan perihal paket itu karena setelah hari mereka minum bersama, Athala meminta nomor perempuan itu dengan alasan jaga-jaga menanyakan keberadaan Alia saat sulit dihubungi.

"Tan, gue harus gimana ya?" Tanya Athala pada Tanni yang sedang memejamkan matanya di atas kasur.

Akhirnya Athala memutuskan untuk memberikan secara langsung pada Amba besok setelah dirinya pulang dari kantor.

"Athala!" Panggil Amba setengah berlari di basemen rumah sakit tempatnya praktik koas. Athala yang menunggu sambil menyandarkan tubuhnya di kap mobil langsung menengok dan menegakkan posisi berdirinya.

"Ngapa sih pake lari-lari segala," cibir Athala membuat Amba memanyunkan bibirnya. "Ntar kalo jatoh emang lo gak malu?" Ucapnya lalu nyaris mendapat tendangan dari Amba pada tulang keringnya andai saja dia tidak gesit menghindar.

"Gak heran kalo temennya cuma satu. Orang kalo ngomong pedes gitu," sindir Amba gak takut kalau Athala tersinggung dan marah. Mengenal Athala hampir tiga bulan lamanya menyadarkan Amba kalau Athala itu ketus tapi peduli, terus mood nya naik turun tapi gak sampai yang membentak, yang paling membuat Amba salut adalah rasa sayangnya pada kedua saudaranya. Tiap Amba ke rumah pasti Athala ikut nimbrung main, mangkanya dia jadi gak canggung lagi. Athala juga diam-diam suka memesankan makanan kalau teman-teman saudaranya main ke rumah.

"Dih. Mending satu, tapi setia," balas Athala secara tidak langsung memuji Kevin. Kalau posisinya disana ada Kevin, pasti Athala udah dipeluk erat-erat sama yang bersangkutan.

Amba melirik tajam wajah tengil Athala. "Katanya mau ngasih paket, mana?" Ucapnya mengalihkan pembicaraan.

Athala pun langsung menuju bagasi belakang mobilnya lalu mengambil dua kardus milik Amba. Dia kembali menghadap Amba dan memberikan kardusnya perlahan.

"Kuat gak?"

"Bisa kok."

Dua kardus paket sudah ada ditangan Amba. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih karena Athala mau repot-repot mengantarkannya padanya.

"Lo ngapain sih paket dialamatin ke rumah gue. Emang apartemen lo gak bisa gitu nerima paket?"

Pertanyaan Athala itu membuat Amba terdiam sejenak memikirkan jawaban yang dapat memuaskan rasa ingin tahu laki-laki di depannya.

"Kapan-kapan aku ceritain Tha, tapi sekarang ini alasan yang bisa aku kasih karena rumah kamu pasti ada orangnya."

Jawaban yang gak masuk akal itu tentu saja membuat Athala tidak puas.

"Ya...ya terserah lo deh."

Amba terdiam mengecek tiap sudut kardusnya membuat Athala memutar otak mencari bahan pembicaraan karena biasanya Amba yang banyak omong.

"Tha! Mau makan bareng gak?"

"Apaan?"

"Ih kok apaan sih jawabnya. Mau apa enggak?"

"Terserah."

Terserah di kamus bahasa Athala yang sudah Amba pelajari itu artinya setuju. Maka Amba yang antusias langsung menyenggolkan kardusnya ke lengan Athala sebagai ganti karena tangannya gak bisa secara langsung menepuk bahu laki-laki itu.

"Yeay! Aku traktir ya soalnya kamu hari ini udah jadi orang baik," ucap Amba antusias dengan senyuman yang menampakkan deretan giginya.

Athala nyaris saja tersedak air liurnya sendiri melihat kehebohan Amba. Dulu waktu awal kenal, Athala pikir Amba itu sosok yang anggun, bersahaja, dan bicara seperlunya. Namun, seiring berjalannya waktu Athala menemukan sisi lain Amba yang riang, heboh, dan kadang bisa konyol juga. Pantas saja jika Amba itu klop sama Alia and the gang yang di mata Athala gak ada satupun yang bertingkah kalem.

L A   F A M I L I ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang