Mendengar cerita Dirga tempo hari membuat Alia bersimpati pada sosoknya yang melalui segalanya sendirian. Dia jadi membayangkan andai saja ketika krisis moneter 1998 menghantam usaha keluarganya tanpa tersisa, mungkinkah dia dan Athala juga akan dititipkan ke rumah oma lebih lama? Lalu bagaimana jika tidak satupun anggota keluarganya yang mau mendengar curhatannya? Membayangkan saja sudah membuat Alia merasakan sakit, apalagi sampai harus merasakan dan menghadapinya. Dia tidak akan pernah sanggup.
"Ngapain Al, malem-malem di luar? Gak takut ditabrak codot kamu?"
Arjuna yang berdiri bersandar di pintu belakang rumah setengah tertawa membayangkan jika anak perempuannya benar-benar ditabrak codot lalu berteriak sekencang mungkin.
"Papa apaan sih. Mana ada codot di Jakarta," gerutu Alia menatap tajam Arjuna yang malah tertawa terpingkal-pingkal.
Arjuna yang baru saja mengusap air matanya karena tertawa berlebihan pun langsung beranjak duduk di kursi samping Alia. "Loh di taman kan ada pohon mangga sama jambu, kalau pas musim berbuah sering growong-growong. Menurut kamu siapa yang makan kalo bukan codot? Gak mungkin kan genderuwo makan mangga," Tanyanya dengan serius.
"Ya...iya...tapi kan ngapain juga codot nabrak Alia. Emang muka Alia kayak buah mangga apa?"
"Hahaha lucu kamu Al. Suka nih Papa kalo kamu bercanda gini."
Alia memutar bola matanya malas. "Papa ngapain sih gak main aja sama Mami? Malah gangguin Alia yang lagi berkontemplasi disini."
"Pake istilah yang lain dong Al. Main-main kayak mamimu apa aja," protes Arjuna menyentil pelan dahi Alia. "Lagian mamimu juga butuh me time Al, gak harus selalu sama Papa kalau di rumah."
"Kan mulai nyentil-nyentil. Papa ini yang gatel gak cuma mulutnya ya, tapi tangannya juga."
"Lagian kamu nih kontemplasi segala apa itu. Emang kamu kenapa? Lagi ada masalah?"
Alia terdiam sejenak menimbang-nimbang untuk berbagi cerita tentang Dirga pada papanya atau tidak.
"Pa. Papa pernah gak sih ngerasa bersalah lebih mentingin kerjaan daripada anak-anak Papa?"
"Hemmmm. Pernah lah, tapi papa ngerasa bersalahnya gak yang sampai getun* gitu Al."
*menyesal
"Kenapa gitu?"
"Ya gimana ya Al. Anak-anak itu punya kompleksitas pikirannya sendiri yang gak mudah dipahami sama orang tua begitupun sebaliknya. Anak-anak selalu bilang orang tuanya sibuk cari uang sampai gak ada waktu bareng, tapi disatu sisi anak itu juga akan mengeluh kalau gak punya uang. Menurut kamu gimana kalau gitu? Waktu bareng itu penting karena gak bisa diputer lagi, tapi uang juga penting biar kalau anak mau ngapain di waktu tertentu orang tua bisa support."
"Serba salah ya Pa kalau jadi orang tua."
Arjuna tersenyum kecil. "Kenapa? Mau mengurungkan niat gak jadi nikah sama Dirga?" Tanyanya usil.
"Dih, enggaklah. Cetek banget pemikirannya cuma gara-gara pertimbangan itu terus batal nikah."
"Ya kali aja. Papa bukan mau nakut-nakutin kamu ya Al. Nikah itu gak semudah kelihatannya, harus punya mental yang kuat sejak awal biar gak gampang goyah. Soalnya masalah di dalam rumah tangga itu ada aja. Hal yang kamu pandang bukan masalah waktu masih single, bisa jadi malah jadi masalah ketika udah nikah. Serem pokoknya." Arjuna kembali bergidik dan merasakan bulu kuduknya merinding mengingat bagaimana kehidupannya awal menikah dulu dengan Aretha.
"Contohnya?"
"Kamu kalau habis makan langsung cuci piring sendiri karena gak suka liat wastafel gak bersih, sementara pasangan kamu sukanya numpuk piring kotor. Kayak gitu bisa jadi bahan berantem gede lo Al."
KAMU SEDANG MEMBACA
L A F A M I L I A
FanficKeluarga Arjuna Sosro itu keluarga berdarah ningrat jawa yang anggota keluarganya punya pemikiran liberal, terpaksa harus tunduk sama aturan adat untuk memilih pasangan berdasarkan bibit, bebet, bobot. Hal tersebut membuat perjodohan jadi hal biasa...