Somewhere Only We Know

457 89 19
                                    

Askara gak tahu deskripsi apa yang tepat untuk raut wajah maminya, yang jelas dia pernah lihat raut wajah ini waktu Alia memutuskan untuk bertunangan dengan Dirga. Kalau saat itu raut wajah itu disebabkan oleh masalah Alia, bolehkah Askara menduga jika kali ini adalah karena dia?

"Duduk Ka," titah Aretha menunjuk sofa panjang berwarna moka yang ada di ruang kerjanya.

Askara dengan ragu duduk di sofa panjang disusul dengan Aretha yang duduk di sofa kecil tanpa sandaran yang letaknya berada di sebelah kiri Askara. Tak lupa Aretha membawa map yang diberikan oleh Eyang kemarin. Dia menaruh tepat di meja depan Askara tanpa ragu karena tahu anak bungsunya sudah dewasa dan bisa diajak untuk berbicara serius terkait dengan percintaannya.

Askara melirik map itu bertanya-tanya lalu menatap Aretha yang mengendikan dagunya mengisyaratkan anaknya itu untuk melihatnya.

"Aska udah tahu kok," ucap Askara ketika dia sudah membaca isi map tersebut dan menaruhnya sedikit kasar di atas meja.

"Eyang kasih itu ke Mami kemarin," jawab Aretha membuat Askara merasa sedikit tenang. Dia juga tidak mengharapkan kalau Aretha lah yang diam-diam menyelidiki privasi Meirana karena dia yakin maminya itu bukan tipe yang demikian.

"Eyang gak bakal ngapa-ngapain Rana kan, Mi?"

Aretha menggeleng. "Mami juga gak tau. Untuk saat ini mungkin enggak karena Eyang ada urusan yang lebih penting di Solo."

Askara menghembuskan napas kasar merasa kesal. "Kenapa sih Eyang selalu kayak gini. Eyang pikir orang itu barang apa yang gak punya emosi, yang gak bakalan sakit hati kalau diperlakuin sesuka hati," gerutunya lalu mendapatkan genggaman hangat oleh tangan Aretha.

"Kita gak selalu ketemu sama orang yang baik kan Ka? Kehidupan selalu punya dua sisi. Hitam putih, baik jahat."

"Tapi Aska harap orang jahat itu bukan berasal dari keluarga Aska sendiri."

"Mami juga berharap begitu," ucap Aretha menenangkan Askara lalu tersenyum teduh.

Askara membalas senyuman Aretha.

"Sekarang boleh gantian Mami yang ngomong Ka?"

Askara mengangguk memberikan izin.

"Aska," panggilnya sejenak menjeda membuat Askara menunggu tak sabar. "Sama Meirana beneran serius?" Lanjutnya hati-hati.

Askara mengedipkan matanya berkali-kali mencerna dengan pasti apakah dia tidak salah dengar. "Kenapa Mami tanya kayak gitu? Apa karena Aska masih anak sekolah jadi buat Mami apa yang Aska lakuin itu cuma buat seneng-seneng aja?" Tanyanya balik membuat Aretha jadi salah tingkah merasa tak enak hati.

"Bukan gitu maksud Mami. Aska tahu dengan jelas keluarga kita itu seperti apa. Kalau kamu gak beneran serius sama Meirana, itu cuma bakal nyakitin dia lebih lagi. Bukan karena kamu, dia bisa aja terluka karena keluarga kita."

"Aska gak pernah berani buat main-main sama orang lain karena Aska tahu keluarga kita kayak gimana kondisinya." Sejak Askara memutuskan untuk mengikuti jejak Yuga ke sekolah negeri, sejak itu juga Askara berjanji untuk menjaga teman-temannya yang dipandang sebelah mata oleh Eyang karena berasal dari status sosial tidak sepadan dan juga Meirana sosok yang mengajari Askara untuk berani. Mereka adalah sosok berharga buat dia dan gak akan dia biarkan Eyang menyentuh mereka.

"Aska kamu mungkin bakal marah kalau Mami bilang ini. Sejujurnya Mami bukan gak suka sama Meirana, tapi kehidupan dia sangat berat untuk ikut kamu tanggung. Apa kamu udah pikirkan hal itu juga? Ini bukan tentang kamu dan dia, atau dia dengan keluarga kita, tapi kamu dengan keluarga dia juga."

Askara menautkan kedua alisnya merasa terganggu. "Maksud Mami tentang adiknya yang autis?"

Aretha mengangguk kecil sebagai jawaban.

L A   F A M I L I ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang