Langkah pasti Alia berjalan menuju sebuah bengkel seni berukuran 30×30 meter yang dibangun di samping rumahnya. Bengkel itu adalah hadiah dari Aretha untuk Askara saat resmi menjadi mahasiswa seni rupa. Biasanya jika Askara tidak ditemukan di seluruh sudut rumah, keberadaannya dapat ditemukan di sana. Begitu sampai di depan pintu, Alia menghentikan langkahnya seraya menajamkan telinganya ketika dia mendengar suara gedubrakan dari dalam.
Takut terjadi sesuatu yang pada adiknya, dia pun bergegas menarik kenop pintu dan berlari melewati lorong kecil di mana sepanjang dinding dipajang karya-karya lukisan abstrak dan gelap yang tidak ingin Askara tunjukkan pada dunia. Kelegaan memasuki relung batin Alia ketika dia melihat Askara yang menatap polos padanya.
Dapat Alia lihat kondisi bengkel Askara yang berantakan, sama seperti pemiliknya. Cat warna-warni membekas di kedua telapak tangan adiknya, belum lagi apron canvas yang dipakainya yang juga demikian. Alia tersenyum teduh lalu berjalan menghampiri adiknya. Dia mengeluarkan tisu basah dari dalam tasnya kemudian mengusap pipi Askara yang terkena cat warna biru.
Askara yang bingung dengan sikap kakaknya hanya bisa membalas tersenyum.
"Mba Alia kira kamu kenapa-napa soalnya tadi di depan denger suara gedubrakan," ucap Alia sempat berpikiran jika adiknya itu emosi lalu membanting semua barang yang ada di bengkel.
"Oh itu tadi, Aska ngambil kuas yang nyelip dipojok sana. Eh tumpukan barangnya ikut jatuh semua," jelasnya lalu menunjuk tumpukan barang di pojok ruangan yang masih tersebar berantakan. "Terus tadi waktu jalan balik kesini Aska gak ngeliatin bawah jadinya malah kesandung kaleng cat," lanjutnya sekarang menunjuk celana jeans nya yang terkena tumpahan cat.
"Ya ampun. Lain kali hati-hati ya?"
Askara mengangguk kecil disertai bibir yang terkulum lucu.
Kini pandangan Alia beralih pada canvas berukuran 120×200 meter di atas meja. Alia yang tidak terlalu mengerti seni hanya dapat melihat sapuan berbagai macam warna tidak teratur yang digores dengan telapak tangannya.
"Painting is the best way to keep your mind sane and feel better."
Alia menoleh pada Askara yang berdiri di sampingnya. "Ka, kamu baik-baik aja kan?" Tanyanya pelan-pelan.
"I am fine. Kenapa sih Mba?" Tanya balik Askara heran.
"Kalau I am fine, kenapa tadi waktu kita papasan terus aku sapa di cafe nya Rena kamu ngeloyor gitu aja? Aku sama Atha liat loh muka marah kamu."
Kalau udah diberondong fakta kayak begitu, Askara tentu saja gak bisa berkilah apalagi berbohong. "Just a little squabble with my partner."
"Partner? What kind of partner? Work or in romantic way?"
"Work."
Alia menahan senyum di bibirnya ketika mendapati jawaban Askara kompak dengan Meirana.
"I met her."
Askara membisu. Dia justru kembali menorehkan warna di atas canvas seakan perkataan Alia hanya angin lalu baginya. Alia maju selangkah dan mengeluarkan map berisi novel yang dititipkan oleh Meirana tadi, kemudian dia menyodorkannya pada Askara.
Askara menatap Alia dan map itu bergantian. "Apa itu Mba?"
"I told you before, but you didn't listen to me. Meirana bilang ini buat kamu."
Askara masih tidak bergerak mengambil map itu dan malah menaikkan satu alisnya menatap Alia tanpa berkedip. Setelah itu Askara memutus kontak mata dengan Alia, dia melangkah menjauh menuju kaleng-kaleng cat menyibukkan diri membereskannya.
"Taruh aja di atas meja Mba," ucap Askara membelakangi Alia.
Alia menuruti perintah Askara dengan menaruh map itu di atas meja. "Meirana itu anak yang gampang disalah pahami, dia mungkin punya alasan kenapa kayak gitu. Aku gak tahu seberapa rumit masalah kalian berdua, tapi aku harap kalian berdua selalu bahagia," ucap Alia tulus lalu berjalan meninggalkan bengkel Askara.
KAMU SEDANG MEMBACA
L A F A M I L I A
Fiksi PenggemarKeluarga Arjuna Sosro itu keluarga berdarah ningrat jawa yang anggota keluarganya punya pemikiran liberal, terpaksa harus tunduk sama aturan adat untuk memilih pasangan berdasarkan bibit, bebet, bobot. Hal tersebut membuat perjodohan jadi hal biasa...