L A F A M I L I A

Girl With Luv

He was born not just with silver spoon, but with a golden spoon.

Itulah definisi kehidupan Dirga. Sejak kecil dia tumbuh di rumah yang sangat luas, yang jarak dari kamarnya menuju dapur saja bisa sampai seratus meter. Teknologi terkini, makanan enak, ini itu dilayani? Semuanya pernah Dirga rasakan tanpa ketidakpuasaan seharipun. Meski begitu, hanya ada satu ketidakpuasan yang dialami sejak kecil sampai sekarang yaitu momen bercengkerama dengan kedua orang tuanya. Dalam ingatannya dia hanya ingat kalau Irina adalah ibu yang melahirkannya, hanya sebatas itu. Setelahnya dia tidak pernah punya ingatan dimandikan oleh orang tuanya, diajari cara berjalan, ditemani saat tidur, disuapi, bahkan diajak bermain. Tidak satupun hal-hal tersebut dia lakukan bersama orang tuanya karena semua itu dilakukan oleh Bu Ranti.

Dirga masih ingat dengan jelas bagaimana Bu Ranti menyuapinya saat kecil, bagaimana tangan kasar Bu Ranti mengusap air matanya, dan dongeng yang dibacakan olehnya saat Dirga mau tidur. Hal yang Dirga harap dilakukan oleh ibunya yang melahirkannya, justru dilakukan oleh orang lain.

Tentu saja Dirga merasa sedih ibunya tidak berlaku seperti seorang ibu dan ayahnya yang sangat kaku hanya tahu menyuruhnya untuk belajar dan bersikap layaknya tuan muda keluarga konglomerat. Dirga pernah menyesal terlahir di keluarga konglomerat karena rasanya sangat dingin dan sepi. Kalau reinkarnasi itu benar-benar ada, dia hanya berharap dilahirkan dari keluarga dengan ekonomi biasa-biasa saja, namun kedua orang tuanya sangat hangat.

Dirga selalu iri dengan anak-anak yang diajak berlibur ke taman bermain oleh orang tuanya, Dirga selalu ingin merayakan ulang tahun dengan teman sebayanya bukan bapak berjas dan ibu bergaun yang dia tidak tahu siapa namanya. Dirga hanya ingin menjadi anak biasa-biasa saja, namum orang tuanya tidak pernah mengizinkannya untuk menjadi anak yang demikian.

Dirga tidak punya satupun teman sampai dirinya dikirim untuk bersekolah di Amerika saat duduk di bangku sekolah menengah akhir, mengapa demikian? Pada hari biasa sepulang sekolah, Dirga akan dijemput untuk les privat pelajaran sekolah, selain itu dia harus mengikuti kelas kepribadian dan juga les piano. Pada hari sabtu minggu saat libur sekolah, orang tua Dirga akan membawanya pergi menemui rekan bisnis atau kegiatan amal Lawang Karsa. Saat menginjak usia agak dewasa sedikit tepatnya duduk di bangku menengah pertama, selain kegiatan di atas Dirga mulai diajari manajemen perusahaan; mengikuti kelas berkuda, polo, golf, ski. Kegiatan itu tetap harus dia lakukan bahkan ketika dia dikirim oleh orang tuanya untuk melanjutkan sekolah di Amerika.

Kalau ditanya apakah ada satu saja kegiatan yang disediakan orang tuanya benar-benar dia sukai? Dirga tidak bisa menjawab pasti karena dia tidak tahu rasa suka akan suatu kegiatan itu akan terasa seperti apa. Dia hanya terbiasa dengan rutinitas hingga membuatnya menyimpulkan kalau menjalani rutinitas adalah hal yang dia sukai.

Kenyataan itu memukul Alia dengan telak karena ternyata Dirga hanyalah anak kecil yang kesepian. Anak yang merasa asing di rumah keluarganya sendiri, sampai dia gak tahu apa itu kerinduan sama keluarga.

"Loh Mbak Alia kenapa jadi mewek?" Tanya Bu Ranti bingung sekaligus panik karena calon nona mudanya tiba-tiba saja menangis sesegukan disampingnya.

Alia mengeluarkan sapu tangan penuh sulaman kupu-kupu di pinggirannya dari dalam tas, lalu mengusap sudut matanya yang basah. Tak lupa dia juga menyisikan ingus yang mulai turun dari hidungnya.

"Kok sedih banget. Itu beneran ceritanya Mas Dirga? Bukan sinetron yang tayang di chanel ikan terbang?"

Bu Ranti jadi gagal sedih dan malah menahan tawanya mendapati pertanyaan polos sarat kelucuan yang dilontarkan oleh Alia.

"Tayangnya cuma di rumah ini Mbak," balas candaan Bu Ranti yang terkesan garing membuat Alia yang sedih jadi tertawa.

Alia merubah posisi duduknya lebih mendekat pada Bu Ranti. "Menurut Bu Ranti, Mas Dirga tuh orangnya kayak gimana sih?"