ELS | BG-40

7K 244 5
                                    

   Ruang rawat inap bernuansa putih itu tengah di penuhi dengan suara tawaan, juga candaan yang dilontarkan oleh sang penghuni ruangan.

Aska dan intan terus berbalas melontarkan candaan. Yang sebenarnya memang tujuan awal ayah dan anak itu adalah, agar mereka mendengar kembali suara tawaan dari alen.

Dan usaha menghianati hasil.

Alen justru hanya tersenyum sangat tipis. Itu pun saat intan menyenggol lengan, atau memanggil namanya saja.

"Alen, kamu ingin makan?"

"Kan tadi alen udah makan, masak makan lagi, nggak muat perutnya," Alen membenahi posisi tidurnya, lantas memejamkan kedua matanya. "Alen mau bobo aja. Ngantuk."

Secara bersamaan Intan dan Aska menghela napasnya. Baiklah, jangan dipaksakan.

Tepat tiga hari mereka menginap disini, menemani alen. Tanpa memberikan pesan, dan kabar pada Elin.

"Pa, papa nggak mau pulang dulu? Kasian elin."

Menggeleng. "Papa ingin menemani putri-putri papa yang cantik ini dulu. Kalau sudah waktunya, nanti papa pasti akan pulang."

"Tapi kalo nanti elin kepikiran?," Aska terdiam. "Nanti ngaruh nggak, ke adek-nya?"

Pria itu tersenyum, tangannya ter-ulur mengusak gemas surai indah yang dimiliki putrinya.

"Sudah, kamu fokus pada kakakmu saja. Biar kak elin, papa yang pikirkan."

Gadis itu tersenyum, dengan kepalanya yang mengangguk.

"Pa"

"Hm?"

"Intan....boleh peluk papa?"

"Kenapa tidak?" Aska merentangkan kedua tangannya. Siap memberikan pelukan hangat untuk putrinya.

Intan langsung menubruk tubuh Aska. Memeluknya dengan sangat erat. Ia rindu.

"Masih sama, hangat dan nyaman seperti dulu," Gumam intan.

"Pelukan papa tidak akan berubah untuk intan, dan kak alen. Selamanya akan tetap sama."

"Sama, tapi waktu dan situasinya yang beda."

Aska terkekeh. "Sejak kapan putri papa ini berkata seperti orang dewasa, hm?"

"Sejak intan belajar mandiri."

"Maaf."

"Nggak, papa nggak salah. Intan mau papa bahagia sama pendamping papa, siapapun itu. Intan dukung, walaupun intan harus kehilangan pelukan papa yang ini. Intan nggak apa-apa hehe."

"Nak, jangan seperti itu. Pelukan papa tidak akan pernah hilang untuk intan. Sampai kapanpun intan mau, intan ingin memeluk papa, papa selalu ada untuk intan, disini."

Entah kenapa hati nurani seorang ayah, atau yang lainya, ia merasa sedih saat anaknya mengatakan hal demikian.

Sejarang itukah ia memberikan sebuah pelukan?

***

"Kamu kemana sih mas?" Kakinya terus mengayun kesana kemari dengan perut buncitnya.

Tiga hari tak mendapatkan kabar dari sang suami membuatnya cemas, perasaannya campur aduk.

Pikiran negatif terus silih berganti memenuhi otaknya, memaksanya terus berpikir.

Pergi keluar dan mencari? Itu sama hal-nya ia mengambil resiko, dan pastinya kian memperburuk keadaan.

"Telfon bunda! Astaga, kenapa nggak kepikiran?" Elin menggerutu sembari mencari nomor sekar.

Panggilan terhubung...

"Halo, bun. Mas aska disana nggak?" Tatapan penuh harap itu sirna setelah mendengar jawaban mertua-nya. "Ohh, gitu. Makasih ya bun?"

***

"Kenapa, bun?" Tanya Heru--suami sekar.

Melihat gelagat istrinya membuat heru dilanda penasaran.

"Anakmu yah, dia nggak pulang kerumah elin tiga hari."

"Mungkin pekerjaan."

"Tapi dia juga nggak ngehubungin, ngabarin kek, enggak yah," Sekarang mencari nomer Aska diponselnya. "Bunda takut elin kepikiran. Dia nggak boleh stres."

Decakan kesal keluar dari kubu sekar. "Dasar, anak ini."

Ponsel aska tak dapat dihubungi, dan itu semakin membuat sekar kesal Dibuatnya.

"Sabar dulu bun, pasti Aska punya alasan."

"Alasan apa? Ini sama aja dia membahayakan anak dan istrinya loh yah. Ditinggal dirumah sendirian lagi, cuma dijaga sopir. Bibi aja jarang kan, ke rumah?"

"Memang, anak aska hanya yang elin kandung saja?"

Sekar menatap suaminya. "Maksud ayah?"

Heru menghela napasnya. "Aska juga harus membagi waktunya untuk kedua cucu kita, bun. Mereka masih sangat membutuhkan peran aska dihidup mereka. Jangan egois."

"Yah, bunda nggak egois. Bunda cuma merasa bersalah aja. Karna aska, masa depan elin harus terhenti diaska aja. Padahal, harusnya elin masih Seneng-seneng main sama sebaya nya. Intan, alen, elin, mungkin mereka akan akur sampai saat ini."

"Benar, ayah tau. Tapi jangan hanya terfokus pada elin dan bayinya. Kedua cucumu masih butuh pengawasan," Heru menyeruput kopinya. "Apalagi saat mendengar alen kost, sebenarnya ayah nggak setuju."

Heru melanjutkan dialognya. "Apalagi alen itu gadis, bagaimana kalau dia dijahati oleh orang yang tidak bertanggung jawab?"

"Ya ampun yah! Gimana kabar alen sekarang?"

Menggeleng. "Sepertinya, kita harus pulang bun."

Sekar mengangguk setuju. Ia yakin saat ini situasinys tengah tidak baik-baik saja. Ia tak berniat ikut campur urusan rumah tangga aska. Ia hanya ingin berperan sebagai orang tua yang menengahi sebuah masalah.

Karena jika keduanya ingin memenangkan ego nya masing-masing, maka jalan terakhir adalah perpisahan. Dan sekar tidak mau itu terjadi.

Elin masih sangatlah muda. Sekar berpikir sudah cukup aska merusak masa depan elin, jangan lagi.

***

ELIASKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang