ELS | BG-43

7.3K 276 13
                                    

Pertama kali saat elin memijakkan kakinya dilantai rumah, ia sudah mendengar celotehan seseorang.

Intan.

Saat ini, ke-dua gadis itu tengah duduk disofa. Alen yang fokus pada tanyangan televisi, dan intan yang terus berusaha mencari topik yang asik untuk dibahas.

Lebih tepatnya, Alen tidak menanggapinya.

"Wah, kalian menonton apa?" Aska bertanya sembari mendudukkan dirinya di samping Alen.

"Ngapain Lo kesini?" Sewot intan saat melihat kehadiran elin. "Mau usir kakak gue lagi?"

Elin menggeleng pelan.

"Intan, kamu tidak sopan," peringat sang kepala keluarga.

"Iya, papa. Maaf. Intan cuma reflek aja tadi."

Aska menggelengkan kepalanya. Intan yang manja kini berubah menjadi intan yang bertekad untuk selalu melindungi kakaknya.

Bahagia, pasti. Putrinya tumbuh menjadi saudara yang saling melindungi.

Tetapi disisi lain ia merasa sedih. Intan yang selalu bersikap manis pada elin kini menjadi intan yang menatapnya penuh kebencian.

"Lin, maaf. Gue pulang dulu. Besok gue bakalan pergi lagi kok," Ujar Alen tiba-tiba membuat suasana kembali tegang.

Menggeleng lemah. "Len, maaf."

"Maaf buat?"

Menundukkan kepalanya, sambil memilin ujung baju yang dikenakan. "Semuanya."

"Nggak perlu ada yang dimaafin, kan kita sahabat."

"NGGAK," Teriak intan. Gadis itu langsung memeluk Alen dari samping dengan sangat erat. "Kak Alen nggak boleh maafin elin, dia udah jahat sama kak Alen. Intan nggak terima," lirih gadis itu yang masih terdengar baik oleh orang-orang disana.

Elin kian menundukkan kepalanya, Aska yang mengerti pun langsung beranjak dan merangkul pundak istrinya.

"Apa papa boleh mengusulkan sesuatu?"

"Intan nggak mau kalo usulan papa buat intan, sama kak Alen pisah lagi."

"Tidak, sayang," Aska tersenyum. "Bagaimana kalau kita baikan saja? Saling memaafkan dan hidup bahagia. Seperti dongeng yang intan baca? Mau?"

Mengeratkan pelukannya pada sang kakak. "Intan ikut kakak aja."

"Gimana, kak?"

Tersenyum. "Alen ikut papa aja."

"Loh!" Aska menatap ketiga perempuan itu bergantian. "Jadi, papa harus baikan sama diri papa sendiri? Kalian tidak mau?"

Aska melanjutkan dialognya. "Kenapa jadi papa? Kan kalian yang berselisih. Hayo ... Sekarang kalian baikan, ayo."

"Intan ... Maafin aku, ya?" Elin mengayunkan kakinya mendekati intan.

"Intan bilang, intan ikut kak Alen aja!" Sentak gadis itu membuat Elin terkejut.

"Kan kak Alen sudah memaafkan, nak," sahut Aska.

Intan menatap kakaknya. "Semudah itu, kak? Kenapa langsung dimaafin?"

"Intan," elin berjongkok dengan susah payah dihadapan intan. "Kamu nggak mau maafin aku?"

"Kak Alen, ayo istirahat. Kak Alen harus cepet tidur. Biar fresh," intan menuntun Alen yang tak menolak ajakannya.

Meninggalkan Elin yang masih berjongkok, dengan tatapan sendu kearah putri sambungnya.

Elin mendesis kala keram pada perutnya kembali menyapa.

"Elina," Aska langsung berjalan mendekat. Kemudian membantu elin untuk berdiri.

"Duduk dulu."

Elin menarik nafas, lalu membuangnya secara teratur. "Boleh usap-usap nggak, mas?"

Tangan kekar itu langsung mengusap perut yang membuncit. Sesekali mengusap peluh yang membanjiri pelipis istrinya.

"Jangan banyak pikiran dulu, ya? Besok kita coba lagi untuk membujuk intan. Dia anak baik, mudah memaafkan. Mungkin, rasa cemasnya masih mendominasi," kata Aska menenangkan. Dan dibalas anggukan oleh elin.

"Mas?"

Aska mengangkat wajahnya. "Hm?"

Ragu. "Aku, boleh jujur nggak sih, sama kamu?"

"Tentu, dengan senang hati."

Membuang nafasnya. "Sebenernya, aku nggak pernah benci sama Alen," Kata elin. "Waktu itu, pas intan diare, aku mau ambil air anget buat dia. Dan nggak sengaja aku denger obrolan kamu sama Alen."

Dahinya mengkerut. "Obrolan? Yang?"

"Yang kamu bilang kalo kasih sayang kamu buat Alen itu lebih dari anak-anak kamu yang lain. Aku takut kalo suatu saat nanti kamu malah buang anak kita, nggak dianggep, nggak disayang juga, cuma karena sayang kamu buat Alen lebih mendominasi."

Tawaan renyah langsung menguar, merasa geli dengan alasan labil elin selama ini.

Elin memukul lengan suaminya. "Mas!" Pipinya memerah malu. "Jangan ketawa, aku malu."

Aska mencoba menghentikan tawanya. "Oke, saya minta maaf."

"Elina," Aska menggenggam tangan mungil istrinya. "Mana ada seorang ayah yang tega menelantarkan darah dagingnya? Saya memang sangat salah telah menghamili kamu malam itu, tapi saya bukan tipe orang yang tidak bertanggung jawab dengan apa yang saya hasilkan."

Ya Tuhan, bawa elin pergi dari sini. Pipinya terasa sangat panas.

"Apapun keadaanya, saya akan menyayangi anak-anak kita. Termasuk buah hati kita, bahkan saya sudah tidak sabar menantikan tangisan pertama dia. Saya menantikan hal itu."

"Saya berharap, dichapter selanjutnya keluarga kita kembali hangat. Saling melengkapi satu sama lain. Jangan mengkhawatirkan hal-hal seperti itu, saya mencintai kamu, kedua putri kita, dan adek. Always."

Pria itu mendekatkan wajahnya, mengecup bibir ranum wanitanya. Yang tadinya hanya sebuah kecupan, itu merembet menjadi luamatan.

Tanpa mereka sadari kedua putri mereka menguping dari kejauhan.

"Yang ini, kak Alen nggak boleh liat," tangan intan menutup kedua mata sang kakak. Sedangkan dirinya, matanya tak beralih melihat adegan dewasa tersebut.

"Kamu juga nggak boleh liat kali! Dasar, anak pitik!"

"Intan penasaran, kan kalo kak Alen udah sering liat di hape kak Alen."

"Enak aja!" Sewot Alen.

Diam-diam intan tersenyum, ia merasakan sedikit perubahan dari kakaknya.

Kini kakaknya mulai mau berdebat kembali dengan dirinya.

Semoga, yang mengetik cerita ini menyudahi penderitaan keluarga kecil ini.

Kasian.







***












Lov yu ges💌

ELIASKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang