2

435 49 1
                                    

“Lo makin sini gue liat-liat milih pulang malem terus. Is there any problem?” tanya Jeffrey yang sedang merapihkan bangku di café.

Rendra menghela napas pelan, “masalah kecil doang. Tenang aja bang. Ngomong-ngomong, temen lo yang mau jual motor. Jadi?”

Jeffrey menatap Rendra sebentar lalu mengangguk pelan, “jadi, masih ada juga. Mau gue anter ketemu dia?”

Rendra menggeleng, “belum cukup. Nanti aja bang. Kalau gue ambil juga takut kebutuhan kampus tiba-tiba banyak.”

A good decision. Kalau misal ada yang mendadak, lo kabarin gue aja. Nanti gue jemput lo, atau Derren jemput lo,” ucap Jeffrey sambil mengunci cafénya.

Rendra tersenyum kecil, “makasih bang. Gue bener-bener beruntung ketemu lo.”

“Gue itu keberuntungan tau.  Ke—“

“Rendra.”

Rendra dan Jeffrey berbalik secara bersamaan, melihat Hazkiel yang berada di belakang mereka dengan wajah muram dan tertunduk.

I think you guys should talk together. Gue duluan ya. Gipta, be careful,” Jeffrey tersenyum lalu meninggalkan Rendra dan juga Hazkiel di depan café nya.

Sangat beruntung café milik Jeffrey memiliki bangku di teras, dan juga tidak dimasukkan. Dirinya jadi tidak harus berdiri untuk berbicara dengan Hazkiel. Dia juga bisa beristirahat untuk sementara waktu.

Mereka berdua duduk di bangku yang ada di teras café. Rendra sudah menyamankan dirinya dengan bersandar pada kursi, memejamkan mata sebentar sambil menunggu Hazkiel yang akan berbicara.

Walau sudah satu menit lewat, Hazkiel masih diam dengan kepala tertunduk membuat Rendra jengah.

“Kalau gak ada yang mau diomongin, gue duluan,” Rendra yang akan berdiri langsung diam saat tangan Hazkiel mencengkeramnya.

“Sebentar.”

“1 menit gue sia-sia liatin lo nunduk doang.”

Sorry.”

“Ok—“

“Bukan, maksud gue iya. Gue minta maaf karena ngilangin 1 menit lo. Dan gue juga minta maaf buat kejadian di kampus tadi. Sorry, Dra,” ucap Hazkiel penuh penyesalan.

Rendra menghela napas pelan, “oke.”

Kepala Hazkiel terangkat, matanya menatap Rendra dengan tatapan bingung lalu kembali tertunduk, “gue akuin niat gue emang buruk banget karena mau berteman sama lo.”

Rendra duduk kembali saat dirasa Hazkiel akan mulai pembicaraan panjang. Selain memikirkan pembicaraannya dengan Hazkiel, dia juga harus memikirkan alasan yang cocok saat dia pulang nanti.

“Iya Dra, gue mau temenan bahkan maksa temenan sama lo itu karena gue mau deket sama Rendi. Karena gue gak bisa deket sama Rendi akhirnya gue manfaatin lo, maaf. Gue tau gue keterlaluan,” ucap Hazkiel.

Rendra merotasikan matanya malas, “I’ve meet a lot of people like you, btw. Udah gak kaget jadinya. Kalau mau temenan sama Rendi, ke kelasnya aja pas jam 9.”

Hazkiel menatap Rendra dengan tatapan terkejut lalu menggeleng, “sekarang gue mau tulus berteman sama lo, Rendra.”

“Gak ada manusia yang bener-bener tulus. Udah malem, gue harus pulang.”

Hazkiel ikut berdiri saat Rendra berdiri, “gue beneran tulus Dra.”

We don’t know anything, gue sama lo bahkan orang-orang gak tau mana tulus yang bener-bener tulus. Mungkin juga, ketulusan yang lo bilang itu cuma rasa bersalah. Iya kan?”

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang