12

358 48 4
                                    

Rendi menatap kosong makan malam di depannya, dirinya masih terus memikirkan kejadian tadi, dimana sang Ayah yang mengusir dan mengucapkan kalimat yang sangat kejam untuk Rendra.

Rendi sendiri mengerti, pasti Rendra sangat sakit hati dengan ucapan Ayahnya, apalagi pancaran kecewa dari tatapan Rendra membuat Rendi tidak bisa melupakannya.

"Rendi, kenapa makanannya cuma diliatin? Gak suka ya? Mau Bunda buatin yang lain?" tanya sang Bunda lembut sambil mengelus pelan rambut Rendi.

Rendi menghela napas pelan, "Rendi khawatir sama Rendra, Bun."

Sang Ayah yang mendengar langsung menghentikan makannya dan menghela napas kasar, menatap Rendi dengan tajam, "jangan sebut Rendra lagi di sini. Dia udah bukan bagian keluarga kita."

Deg!

Rendi mendongak, menatap Ayahnya terkejut. Sedangkan sang Bunda hanya dapat menunduk sambil menghela napas.

"Ayah serius ngomong gitu? Rendra anak Ayah, Rendra kembaran Rendi, Yah," ucap Rendi.

"Gak ada anak yang ngatain Ayahnya sendiri."

"Dan seharusnya juga gak ada Ayah yang masung anaknya sendiri dan mukul anaknya sendiri!"

"RENDI!!"

"Rendi, udah ya sayang?"

Rendi menatap sang Bunda dengan tatapan kecewa, "Bunda kenapa diem aja sih? Rendra anak Bunda, dia sama sama lahir dari rahim Bunda, sama kaya Rendi dan Jivka. Kenapa Bunda diem aja?"

'Sayang, gak gitu-"

"Rendi, masuk kamar kamu sekarang!" titah sang Ayah.

"Enggak Yah!"

"RENDI!!"

"YAH!"

Sang Ayah terdiam sambil menatap Rendi tajam, sedangkan Rendipun ikut manatap sang Ayah dengan tajam.

Cukup sampai di sini, Rendi tidak ingin dirinya memiliki jarak dengan para Adiknya lagi.

"Yah, cukup Yah. Jangan kasih jarak antara Rendi sama Adik-Adik Rendi lagi. Cukup pas kecil Ayah bohongin Rendi tentang Rendra. Cukup Ayah kesampingin Rendra demi Rendi. Rendra juga anak kalian Yah, Bun. Jangan jadiin Rendi yang penyakitan alasan kalian buat gak sayang sama Rendra atau Jivka."

"Bunda sama Ayah gak ada ngebedain kalian. Bunda sama Ayah sayang sama kalian semua, baik Rendi, Rendra dan Jivka," jelas sang Bunda.

Rendi menggeleng, "gak cukup dengan ucapan Bunda. Rendra dan Jivka juga butuh perlakuan Bunda dan Ayah yang bisa yakinin mereka kalau kalian sayang sama mereka."

"Mereka berdua sudah besar, mereka seharusnya mengerti," ucap sang Ayah.

"Lalu Rendi? Rendi bahkan yang lebih tua diantara yang lain."

"Rendi kamu-"

"Rendi tau Rendi penyakitan, Rendi tau Rendi lemah. Tapi Rendra dan Jivka juga gak sekuat itu buat nerima perlakuan Ayah dan Bunda ke mereka. Rendra dan Jivka butuh kalian sebagai tempat bersandar, Rendra dan Jivka butuh peran nyata orang tua dikehidupan mereka, bukan sekedar pemain doang."

"Kamu ceramahin Ayah?"

Rendi menggeleng, "Rendi sama sekali enggak ceramahin Ayah. Rendi cuma mau ngasih tau aja, kalau sikap Ayah sama Bunda itu salah. Oma bener, meskipun Rendi sakit parah, tapi jangan sampai kasih sayang Ayah sama Bunda hilang buat Rendra dan Jivka."

Rendi menghela napas lalu berdiri, "Rendi mau tidur. Selamat malam."

---

Jivka terus menatap jendela kamarnya yang sekarang sudah ditutup rapat. Dirinya masih berharap kalau Rendra akan datang lagi, walau sebenarnya dia tau, itu tidak akan pernah terjadi.

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang