4

387 45 0
                                    

Rendra menghela napas pelan saat melihat perlakuan Bundanya yang sedang menyiapkan Rendi sarapan. Walau dirinya sudah sering melihat semua itu, tapi rasanya dia tidak dapat membiasakan diri.

Perasaannya tidak berubah, sakit.

“Bun, Rendi bisa sendiri,” ucap Rendi saat menyadari tatapan menyakitkan dari Rendra.

Tatapan yang sama, tatapan menyakitkan setiap Rendra melihat kedua orangtuanya memberi perhatian lebih pada Rendi.

Sang Bunda menggeleng, “kamu kan mau kuliah, jadi biar Bunda yang siapin ya?”

“Kenapa Rendra enggak?”

“Dia udah besar.”

Deg.

Rendra tersenyum sinis, “status anak kembar itu ternyata gak berarti apa-apa.”

Setelah mengucapkan itu, Rendra memilih pergi begitu saja dan meninggalkan sarapannya untuk kesekian kalinya. Hal yang paling dia benci adalah, kelasnya yang mendapatkan jam siang.

Ingin mengunjungi café tempat dia bekerjapun itu percuma. Karena hari ini bukan jadwalnya dan pasti sudah ada yang menggantikannya. Mau tidak mau Rendra harus diam di rumah.

“Kak, kelas siang?” tanya Jivka yang memang sudah sejak tadi berada di ruang tv.

Rendra mengangguk, duduk di samping Jivka dan ikut menonton apa yang sedang adiknya itu tonton.

“Jivka, nanti ada oma mau ke sini. Kamu jangan pulng terlalu malam,” ucap Ayahnya  yang langsung pergi begitu saja tanpa menyapa atau mengucapkan sesuatu pada Rendra.

“Udah biasa,” gumam Rendra pelan yang dapat di dengar oleh Jivka.

“Kak..”

Rendra tersenyum lalu berdiri, mengusak pelan rambut adiknya, “gue mau keluar, habis itu bakal langsung ke kampus. Kalau misal gue telat, nitip salam sama oma ya?”

“Kak Dra gak mau bareng Jivka?”

“Kelas lo masih lama, gue duluan ya.”

Jivka tersenyum kecut memandang kepergian Rendra, dia tidak benar-benar paham bagaimana perasaan Rendra. Tapi melihat tatapan hancur dan kecewa milik kakaknya itu, Jivka dapat merasakan sakitnya.

Apalagi, dia sangat sadar akan sikap Ayahnya yang tidak menganggap keberadaan Rendra.

“Dek, Rendra kemana?” tanya Rendi yang baru saja datang ke ruang tv dan heran karena hanya ada Jivka disana.

Jivka menghela napas pelan, “udah pergi.”

Entah kenapa, rasanya menyakitkan mendengar jawaban yang terasa ketus dari Jivka. Rendi menyadari nada suara adiknya itu benar-benar berbeda.

“Kak, kenapa sih selalu lo yang di perhatiin lebih sama Ayah sama Bunda? Padahal lo sama kak Dra itu kembar, tapi perlakuan Ayah sama Bunda terkesan gak peduli ke kak Dra dan lebih peduli sama lo.”

Entah keberanian darimana Jivka mengucapkan itu, padahal dia sadar kalau kedua orangtuanya sedang berada di rumah.

Apalagi dirinya yang sedang berada di ruang tv dan tentunya ucapannya pasti akan terdengar oleh kedua orangtuanya yang sedang berada di ruang makan.

“Gue kesannya ngeliat Ayah sama Bunda cuma berharap lo yang lahir dan lebih menghargai kelahiran lo doang. Kenapa kak Dra gak bisa ada di posisi lo juga? Se spesial apa sih lo kak?”

Prang!

“JIVKA!!”

Jivka tau, ini akan terjadi. Dan dia sudah siap, dia sudah siap mendapat amarah dari Ayahnya.

“Kenapa Yah? Jivka salah?”

“Jivka, minta maaf sama kakak kamu!” ucap sang Bunda tegas.

Jivka tersenyum kecil, “Jivka cuma nanya doang sama dia, kenapa Jivka sampai harus minta maaf?”

“Dia kakak kamu Jivka!”

“Iya tau, emang ada pertanyaan Jivka yang ngarah tentang kak Rendi yang bukan kakak Jivka? Justru pertanyaan Jivka ngarah sama kalian yang gak anggep kak Dra anak kalian.”

Bugh!

“JIVKA!!”

“DEK!!”

Rendra yang tadinya kembali karena handphonenya tertinggal segera membantu Jivka bangkit. Terkejut saat menyadari kening adiknya itu mengeluarkan darah karena terbentur ujung meja.

“Brengsek! Lo Ayah paling brengsek yang gue kenal,” ucap Rendra dan segera membawa Jivka pergi.

“Dek, arghh!”

“Rendi sayang, jangan kecapean ya nak? Kita ke rumah sakit sekarang ya?” ucap Bunda lembut.

Rendi menggeleng pelan, “Rendi mau tau keadaan Jivka. Rendi mau susul mereka.”

“Rendi, kalau kamu gak mau ke rumah sakit. Masuk kamar sekarang!” ucap Ayahnya tegas.

Rendi menatap Ayahnya tak peracaya, “Yah, Bun.. Rendi mohon, perlakuin Rendi sama Rendra dengan adil, begitupun Jivka. Rendra sama Jivka juga butuh kasih sayang Ayah sama Bunda.”

“Rendi—“

“Rendi mohon, jangan jadiin penyakit Rendi alasan lagi.”

---

Jivka menunduk, menatap Rendra yang sedang beradu argumen dengan Hazkiel. Sesekali dirinya tertawa mendengar jawaban Rendra yang ditambah dengan dengusan emosi dari kakaknya.

“Astaga. Udah gue bilang bukan gue yang bonyokin dia. Ya kali gue setega itu bonyokin adek gue?” ucap Rendra.

Hazkiel menatap tajam Rendra, “kali aja rebutan cewek kan?”

“Gak penting banget, bangsat.”

“Kak, bukan kak Dra yang bonyokin gue. Ini gue gak sengaja ketemu orang jahat. Kak Dra yang bantu gue.”

“KENAPA LO GAK NGOMONG DARI TADI JIVKA??? Gue kira lo nangis, anjir. Dari tadi lo biarin gue dituduh aneh-aneh sama ni beruang lo diem aja?”

Hazkiel terkejut mendengar Rendra yang mengatakan dirinya beruang, dia tidak terima. “Apa-apaan lo ngatain gue beruang?”

“Bodo amat, gak peduli gue.”

Jeffrey datang dan memberikan coklat hangat untuk Jivka, “cocok kan mereka jadi tom and jerry versi manusia? Padahal kemaren ada yang ogah-ogahan temenan.”

“Bacot banget Jepri,” ucap Rendra yang mendengar ucapan Jeffrey.

“Sopan lo begitu? Gue pecat juga lo.”

“Ancemannya jelek,” ucap Rendra dan kembali duduk di samping Jivka.

Jivka tersenyum kecil, dia merasa kakaknya itu bahagia, orang di sekitar menyayangi kakaknya dengan tulus.

Rendra melirik kening Jivka yang sudah terbalut dengan baik, “beneran gak mau ke rumah sakit?”

Jivka menggeleng, “udah aman kak. Kak Dra gak ada kelas emang?”

Hazkiel menyela, “masih 30 menit lagi. Tenang aja Jiv, kakak lo entar bareng gue.”

“Gue setuju?”

“Lo mau telat? Oh, atau lo mau jalan bareng lagi sama Rayena kan?” goda Hazkiel dengan menaik turunkan alisnya yang tentu saja membuat Rendra sangat kesal.

Demi apapun, Rendra ingin melempar cangkir di depannya ke depan wajah Hazkiel yang sangat menyebalkan.

“Iri lo karena gue bisa jalan sama Raye?”

“Sorry, Julia masih setia di hati gue.”

Jeffrey menghela napas lelah mendengar pertengkaran mulut antara keduanya. “Lo pada mending minggat. Masih adu bacot gue blacklist ya lo berdua dari café gue!”

“Diem bang, jomblo akut gak diajak.”

“DOMAN, ANJ!!”

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang