Rendi menghela napas lemah saat memasuki kamar Jivka yang sudah benar-benar kosong, tidak ada Jivka lagi di kamar itu. Adiknya itu sudah dibawa oleh kedua orangtuanya.
Rendi duduk di tepi ranjang Jivka, yang dimana masih terdapat rantai dan borgol terpasang di sana.
Seketika tangis Rendi pecah saat itu juga mengingat kemarin Jivka ditarik oleh Ayahnya sendiri, sedangkan Jivka hanya diam dan tidak melawan atau memberontak.
“Bahkan gue gagal buat bawa Rendra untuk lo, Jivka maaf,” lirihnya.
Sekarang Rendi benar-benar sendiri, Rendra pergi entah kemana, dan Jivka dipaksa untuk meninggalkan rumah oleh kedua orangtuanya sendiri. Rendi benar-benar merasakan kekosongan dalam dirinya semakin gelap.
Rendi memukul dadanya, sesak itu semakin menjadi kala tangisnya menjadi isakan kuat. Dia terus menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi.
Andai saja dirinya tidak memiliki kekurangan atau setidaknya dirinya tidak dilahirkan, mungkin Rendra dan Jivka akan hidup bahagia dengan kasih sayang kedua orangtuanya. Semua ini terjadi akibat kelahirannya yang memiliki kekurangan.
Tring!
Tring!Rendi langsung mengambil handphonenya dan menjawab panggilan dari Junio, “kenapa Jun?” tanya Rendi setelah menormalkan suaranya.
“Lo hari ini gak dateng check up lagi? Udah 3 kali gue sama Jemar dateng lo nya gak ada. Lo gak papa kan Di?”
Pertanyaan Junio membuat Rendi diam sesaat, memegangi dadanya pelan dan tersenyum kecut, “gue udah capek Jun.”
Satu kalimat itu langsung membuat Junio yang berada di seberang telepon memekik keras, “ngomong apa sih?!”
“Terakhir kali, dokter Tio bilang gue harus pake alat pacu jantung. Dan pas gue tanya apa gue masih harus minum obat, dia bilang iya. Obat bagi orang kaya gue itu seumur hidup. Dan gue capek Jun.”
Hening, tak ada respon dari Junio membuat Rendi tersenyum kecut. Ucapannya barusan bukan hanya sekedar bualan belaka. Rendi memang sudah lelah harus terus meminum obat setiap hari. Rendi lelah dengan harapan hidupnya bila terus bergantung pada obat.
Memikirkan dirinya yang harus bertahan hidup dengan obat-obatan saja membuatnya lelah, apalagi harus dengan alat?
“Di, lo pasti bisa. Dokter Tio nyaranin lo pake alat pacu supaya lo bisa bertahan. Gue yakin lo bisa,” itu suara Jemario.
“Bertahan dengan alat dan obat-obatan cuma dalam waktu 10 tahun buat apa Je? Tok akhirnya bakal tetep sama. Ini cuma memperlama gue hidup aja kan? Bukan nyembuhin,” lirih Rendi di akhir kalimatnya.
“Lo kenapa jadi putus asa gini sih Di? Lo gak inget dulu lo yang paling semangat buat bertahan hidup di dunia? Lo semangatin gue sama Jemar buat bertahan disaat gue sama Jemar hampir nyerah saat itu juga. Trus kenapa sekarang lo yang nyerah? Kemana Rendi yang dulu?”
Rendi menunduk dalam, “dulu gue masih punya semangat dan harapan buat sembuh itu karena kedua adik gue Jun. Gue pengen main dengan bebas sama mereka tanpa harus mikirin keadaan jantung sialan gue ini. Tapi semakin sini gue semakin tau kalau penyakit gue ini permanen, mustahil buat sembuh.”
“Tapi lo masih bisa buat bertahan Di.”
“Jun, bertahan dengan obat dan alat seumur hidup itu gak gampang. Gue capek.”
“Gue sama Junio otw rumah lo. Jangan kemana-mana dan jangan macem-macem.”
---
Hazkiel mengepalkan tangannya kuat kala menyadari café milik Jeffrey sudah tutup secara permanen. Dia bingung harus mencari tahu keberadaan Rendra dimana lagi sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Two-R [END]
Fanfic'The Meaning of the Number 7 for Twins' "Angka 7 itu angka keberuntungan. Dan karena angka 7 gue punya adik kembar. Gue mohon, jangan benci sama angka 7." - Rendi Adipta Wijaya. "Bagi gue, angka 7 itu kesialan. Karena 7 menit sial itu, gue harus lah...