6

421 50 1
                                    

“Makasih banyak bang udah mau nampung gue,” ucap Rendra sambil tersenyum lirih, kepalanya masih tertunduk memandang coklat hangat ditangannya.

Derren menghela napas melihat Rendra yang terlihat sangat kacau, dia mengelus kepala Rendra, “Gip, lo bisa tinggal disini sampai kapanpun.”

“Bang...”

“Mau cerita?”

Rendra semakin menggenggam cangkir di tangannya erat, matanya terpejam mencoba menahan air matanya yang akan keluar, “sakit bang.”

“Kalau lo gak kuat, lo istirahat aja ya? Jangan dipaksa buat cerita kalau semua itu berat buat lo ceritain.”

“Gue pengen nyalahin dia, tapi gue sadar dia gak tau apa-apa. Tapi gue juga gatau kenapa hati gue marah sama dia bang. Gue sadar, dia bahkan coba buat deket dan perhatian sama gue, tapi hati gue gak mau nerima semua itu. Gue gak tau kenapa hati gue marah sama dia,” lirih Rendra.

Napas Derren tercekat mendengarnya. Derren menatap keatas, mencoba untuk tidak menangis, “Gipta, udah ya? Jangan dipaksa.”

“Dia baik bang sama gue, malah gue yang bener-bener jahat sama dia. Gue sendiri gak tau kenapa, tapi hati gue sendiri yang nolak dia bang.”

Rendra sekarang sudah mulai menangis, bahkan isakannya dengan sangat jelas Derren dengar.

Derren tidak tahu bagaimana menenangkan Rendra, Derren paham kalau hanya dengan kata-kata penenang itu sangat percuma.

“Bang…”

Prank!

“Astaga, Gipta!!”

Derren dengan cepat menjauhkan Rendra dari pecahan gelas dan menidurkan Rendra di sofa yang dia duduki. Menyentuh dahi Rendra dan benar saja, Rendra demam tinggi.

“Mobil gue mogok lagi astaga. Telpon Jepri aja dah,” gumam Derren sambil mulai  menelepon Jeffrey.

20 menit setelahnya, Jeffrey datang ke apartemen Derren dan mereka membawa Rendra yang belum sadarkan diri ke mobil untuk di bawa ke rumah sakit.

“Kok bisa di rumah lo Ren?” tanya Jeffrey.

Mereka berdua sedang menunggu di depan ruang pemeriksaan Rendra, dan Jeffrey baru sempat bertanya karena sejak di jalan tadi mereka sangat panik dengan keadaan Rendra. Wajahnya bahkan sudah memerah.

“Gue gak tau apa yang lagi kejadian di keluarganya, Gipta dateng-dateng udah dalam keadaan basah keujanan sama bawa tas isi baju. Dia bilang mau nginep di rumah gue buat beberapa hari,” jelas Derren.

Jeffrey menghela napas pelan, “gue rasa mereka udah keterlaluan.”

“Kita gak bisa spekulasi gitu Jef. Tadi Gipta sempet cerita dikit, cuma bukan tentang apa yang lagi terjadi. Tapi dia lagi nyalahin dirinya karena dia yang udah keterlaluan sama Rendi. Dia bilang, dia sendiri gak tau kenapa dia marah sama Rendi padahal Rendi bukan alasan semuanya.”

“Rendi alasannya Ren.”

“Maksud lo?” tanya Derren bingung.

“Perlakuan kedua orang tuanya yang lebih manjain Rendi daripada Gipta, itu buat Gipta iri dan cemburu. Dan itu kenapa Gipta bisa benci sama Rendi,” jawab Jeffrey.

Derren menghela napas pelan dan mengangguk setuju, “lo bener. Kadang gue pengen nonjok ortunya biar sadar. Tapi gue orang luar yang gak pantes ikut campur.”

“Gue bahkan sejak awal pengen lakuin itu Ren. Sejak dimana ortu Gipta dateng ke café gue dan gue liat secara langsung Gipta di rendahin di situ juga,” ucap Jeffrey lirih.

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang