16

315 42 6
                                    

Rendi menghela napas, memegang dadanya yang kembali berdetak cepat, melirik tanggal di handphonenya. Sudah lima tahun terlewat sejak semua kejadian itu terjadi.

Sudah lima tahun, dan Rendra masih belum ditemukan keberadaannya, tidak ada yang mengetahui lelaki itu di mana hingga sekarang. Sedangkan Jivka masih berada di rumah sakit.

Kondisi adik bungsunya itu tidak ada perkembangan sama sekali walau sudah lima tahun berlalu. Terutama ketika kedua orangtua mereka mengunjungi Jivka, Rendi dengan mata kepalanya sendiri melihat bagaimana adiknya itu mengamuk bahkan hampir melukai semua orang yang berada di sana.

Rendi sempat berbicara dengan dokter yang menangani Jivka, Jares. Dokter itu mengatakan kalau Jivka akan sulit untuk kembali normal bila trauma yang ada di ingatannya tidak hilang atau jika Jivka tidak berdamai dengan keadaan, itu semua akan sangat sulit.

Melirik foto yang berada di meja kerjanya, fotonya bersama Rendra dan Jivka, satu-satunya foto mereka bersama.

“Dra, lo kapan mau pulang?” lirih Rendi.

Ceklek!

“Di,” panggil Hazkiel.

Hazkiel dan Rendi, mereka sama sama bekerja di rumah sakit umum sebagai psikolog sejak satu tahun lalu.

Rendi tersenyum kala matanya beradu dengan Hazkiel. Dipikirannya selalu terbesit kalau Rendra sangat beruntung menemukan teman seperti Hazkiel.

“Ada jadwal kunjungan pasien?” tanya Hazkiel yang kemudian duduk di hadapan Rendi.

Rendi menggeleng, “enggak. Hari ini kalau ada pasien gue baru kerja. Kemarin udah ngunjungin beberapa pasien dan ada satu pasien gue, dia bilang besok dia mau ke sini.”

“Lo gak sampai kecapean kan kemarin?”

“Enggak, tenang aja.”

“Gue dapet amanah dari dokter Tio supaya ngawasin lo nih.”

Rendi tertawa pelan, “gak nyangka ya, gue bisa bertahan lima tahun dengan alat dan obat,” lirihnya.

Hazkiel menghela napas, “lo kuat, Di. Bukan karena alat di dada lo itu, tapi karena dasarnya lo emang kuat.”

“Sisa waktu gue 5 tahun lagi. Gue takut El, gue takut belum bisa ketemu Rendra dan belum bisa ngeliat Jivka sembuh. Gue takut gak bisa ngumpul sama mereka, gue juga takut ninggalin pasien gue disaat mereka belum berhasil keluar dari masalah mereka,” ucap Rendi sambil melirik fotonya bersama kedua adiknya.

Hazkiel mendengus kesal, “ngomong apa sih lo? Gue yakin lo bisa bertahan lebih lama dari perkiraan sialan lo itu. Bahkan gue yakin lo bisa bertahan sampai tua.”

“Gue yang gak yakin El, jangan lupa kalau alat ini cuma bertahan kurang lebih 10 tahun.”

“Gue paling gak suka kalau lo udah ngebahas ini. Ganti topik aja deh, tadi gue dapet telpon dari Junio. Dia ngajak kita ngunjungin Jemar, gimana?”

Rendi berpikir sejenak, “jadwal gue kan belum abis.”

“Bantu sama anak koas kemarin aja. Lo juga selama ini belum pernah izin kan? Gak papa ambil sehari, nanti kalau tiba-tiba ada pasien lo suruh suster depan telpon lo,” jelas Hazkiel.

“Sekalian ngunjungin Jivka deh ya.”

“Boleh, tapi bukannya kemarin sore lo baru ke sana?”

Rendi mengangguk pelan, “iya, sama ortu gue. Dan Jivka ngamuk sampai malem. Gue gak bisa ngunjungin dia jadinya.”

“Biasanya sama lo enggak pernah ngamuk kan?”

“Enggak, cuma kalau ada ortu gue Jivka ngamuk.”

“Ya udah, gue siap-siap dulu. Nanti ketemu di parkiran aja.”

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang