Another Ending #2

316 27 6
                                    

Silau. Itu yang pertama kali Rendi lihat.

Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya yang ada di ruangan. Tidak perlu lebay, dirinya tahu bahwa dia berada di rumah sakit. Kepalang hatam dengan bau yang ada di ruangan tersebut.

Melirik ke arah samping di mana ada kedua orangtuanya yang tengah menangis dan berulang kali mengucapkan rasa syukur. Dan ada juga dokter Tio dengan beberapa suster yang sedang memandangnya sambil tersenyum.

“Gimana Rendi? Ada yang sakit?” tanya Dokter Tio.

Rendi menggeleng pelan, masih terlampau lemas untuk sekedar menjawab pertanyaan dokter Tio.

Kembali mengedarkan pandangannya, Rendi berharap kehadiran dua saudara kandungnya akan membuat dirinya semakin merasa bahagia.

Tapi semua itu hanya harapan. Karena kenyataannya tidak ada wajah lain lagi yang dia lihat di ruangannya. Hanya ada kupu-kupu berwarna biru dengan corak hitam yang sangat cantik sedang berada di jendela ruang rawatnya.

“Kondisi Rendi untuk sekarang cukup baik, untuk meyakinkan kondisinya kedepan saya sarankan Rendi di rawat inap 2 sampai 3 hari lagi,” ucap dokter Tio.

Chandra melirik Tio dan mengangguk pelan. “Baik dok.”

“Jika terjadi sakit atau rasa yang tidak enak, langsung kabari saya. Jantung barunya untuk sekarang masih harus menyesuaikan dengan tubuh Rendi, dan itu akan berlangsung lama. Jangan membuatnya terlalu berpikir berat, itu juga berpengaruh untuk perkembangannya.”

“Baik dok.”

“Kalau begitu saya permisi dulu.”

“Sayang, Bunda seneng banget anak Bunda bisa kembali. Makasih ya karena kamu udah bertahan sampai sekarang,” lirih Wendi.

Rendi menatap kedua orangtuanya bergantian, berhenti ketika menyadari raut wajah dari Ayahnya terpancar kesedihan mendalam. Bahkan mata pria tersebutpun memancarkan perasaan hancur yang tidak dapat di jabarkan hanya dengan kata-kata.

“Jivka—Jivka mana?” tanya Rendi dengan suara serak.

Chandra menghela napas, “ada kok. Tadi Ayah sempet ngobrol sama dokter Tio. Katanya kalau sore ini kamu udah mendingan, kamu bisa ngunjungin adik kamu.”

“Dia gak papa kan Yah?”

“Rendi, udah ya sayang? Kamu harus banyak istirahat. Inget kata dokter Tio tadi, kamu gak boleh terlalu banyak pikiran, gak baik buat perkembangan kamu,” ucap Wendi sambil mengelus sayang rambut sang Anak.

Rendi menghela napas pelan, pandangannya beralih menatap langit putih ruangannya. Entah kenapa perasaannya tidak enak, terutama pada adiknya.

Saat kecelakaan, Rendi masih dapat melihat dan mengingat dengan jelas ketika Adiknya itu terkena pecahan kaca, terutama pada wajahnya. Rendi mengingat dengan jelas ketika Adiknya itu berteriak sambil memegangi matanya.

Ah benar, matanya.

“Yah, Jivka, mata dia—“

“Rendi, dengerin apa kata Bunda ya nak? Nanti sore kita jenguk Jivka kalau keadaan kamu membaik,” ucap Chandra tegas.

Rendi hanya bisa menghela napas pasrah, sabar menunggu hingga hari menjelang petang. “Gue harap lo gak kenapa-napa Jivka.”

Deg! Deg!
Deg! Deg!

Tunggu, apa?” Rendi memegang dadanya, detakan jantung yang berirama benar-benar terasa pada tangannya.

Meraba bagian perutnya, Rendi tidak merasakan ada benjolan alat yang selama ini tertempel di sana.

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang