5

375 49 0
                                    

Rendi berjalan lemas ke arah fakultas Rendra. Entah kenapa dia ingin sekali bertemu dengan adiknya itu, padahal tubuhnya hari ini benar-benar sangat lemas. Tapi Rendi tetap memaksakan untuk bertemu dengan Rendra.

Dirinya tersenyum kala sudah melihat Rendra yang baru saja datang, tapi senyumnya seketika luntur saat menydari Rendra datang bersama orang yang tidak dia kenal.

“Mereka keliatan akrab,” gumam Rendi.

Rendi menghela napas pelan dan mulai mendekati Rendra yang sedang beradu argumen dengan Hazkiel. “Dra,” panggilnya.

Rendra tersentak pelan dan menatap Rendi dengan pandangan terkejut, “lo ngapain di sini?” tanya Rendra.

Rendi tersenyum kecil, “gue cuma mau ngunjungin lo doang.”

“Lo gila Di? Fakultas lo sama fakultas gue jaraknya jauh banget. Lo mau gue dimarahin lagi?”

Deg!

“Gue cuma--,”

“Dra, jangan gitu banget. Dia kan cuma mau nyamperin lo doang. Ayo, mending ke kantin dulu kita,” ajak Hazkiel.

Rendra mendengus pelan, “lo berdua aja. Kelas gue bentar lagi mulai.”

“Dra..”

“Dra, dia effort mau ketemu lo loh, seenggaknya kita ke kantin dulu lah yok bentar,” ujar Hazkiel.

Rendra menghela napas, “dia bilang mau ketemu gue kan? Sekarang udah. Dan lagi, kelas gue juga mau mulai, lo pada mau tanggung jawab kalau gue telat?”

“Dra—“

“Gak papa, nanti bisa ketemu lagi kok,” setelah Rendi mengucapkan itu, Rendra pergi begitu saja tanpa menghiraukan gerutuan kesal dari Hazkiel.

Hazkiel menatap Rendi, “lo Rendi jurusan psikolog kan? Kebetulan kita satu jurusan, kita ke kantin dulu aja mau? Nanti baliknya bareng.”

Rendi tersenyum dan mengangguk pelan, “boleh.”

“Oh iya, gue Hazkiel. Rendra sih biasa manggil gue Kiel, lo juga boleh.”

“Salam kenal El, gue Rendi.”

Mereka berjalan beriringan menuju kantin, beberapa kali Hazkiel mengeluarkan candaannya dan membuat Rendi tertawa.

Tidak dapat bohong kalau Hazkiel memang orang yang sangat menyenangkan, padahal mereka baru saja berkenalan.

“El, gue boleh tanya tentang Rendra?” tanya Rendi.

Hazkiel mengernyit bingung, “hah? Nanya gue? Loh, kan lo yang kakak kembarnya dia.”

“Maksud gue, nanya tentang kebiasaan Rendra, karena gue liat kalian deket banget.”

“Ah gue paham, Rendra pas sama gue gimana?” Rendi mengangguk. “Rendra gak banyak omong, dia orangnya gampang emosian. Kalau dibandingin sama lo yang baru gue kenal, dia berbanding terbalik banget sama lo.”

Rendi mengangguk paham, “sorry kalau sikap dia ada yang bikin lo sakit hati.”

“Eh? Bukan. Gue gak masalah sih sama itu, walau gue sakit hati terkadang, tapi Rendra tuh anaknya gue liat-liat to the point. Kalau ada yang gak dia suka, dia bakal bilang atau nunjukin itu dengan sikapnya. Kesannya kasar sih, tapi mungkin itu cara bertahannya Rendra.”

“Cara bertahan?”

Hazkiel mengangguk pelan, “gue pernah denger dosen gue bilang, setiap orang itu pasti punya cara bertahannya masing-masing. Mereka bertahan demi menguatkan diri mereka sendiri ataupun demi orang lain. Dan yang gue ambil kesimpulannya, kalau orang-orang itu bertahan supaya diri mereka gak sakit hati dan nguatin diri mereka sendiri.”

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang