8

381 46 2
                                    

Rendi mengeratkan pegangannya pada pinggiran kursi yang dia jadikan tumpuan. Memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut lalu mencoba menormalkan napasnya. Rendi tidak boleh lemah, dirinya masih berada di linkungan kampus.

“Di, lo gak papa?” tanya Hazkiel sambil bantu memapah Rendi, “ke uks mau? Muka lo pucet banget.”

Rendi menggeleng pelan, “gak usah. Gue cuma kecapean biasa doang.”

“Gak mau absen aja? Lo butuh istirahat.”

“Kelas gue udah gak ada kok. Ini gue lagi nunggu temen gue jemput.”

Hazkiel mengangguk pelan, membantu Rendi untuk berjalan keluar gedung, “temen lo bakal jemput di gedung sini atau gerbang kampus?”

“Gerbang.”

“Gue anter mau? Kebetulan gue markirin motor di lantai satu.”

“RENDI!!!”

“Temen lo?”

Rendi mengangguk pelan, “ternyata dia jemput ke gedung. El, makasih ya udah bantu gue.”

“Sama-sama, jangan lupa istirahat Di.”

“Iya.”

Di dalam mobil sudah ada Junio dan juga Jemario yang memancarkan raut khawatir saat sadar kondisi Rendi sedang lemah.

“Lo gak papa Di? Gue telepon dokter Tio ya?” ucap Jemario khawatir.

Rendi menggeleng pelan, “gak usah. Gue kecapean doang kayaknya. Soalnya tadi di kampus sibuk banget.”

“Bukannya pihak kampus udah bokap lo kasih warn supaya gak ngasih lo terlalu banyak tugas?” tanya Junio.

“Gue gak enak aja. Tadi tuh dibagi kelompok, gue gak enak kalau cuma diem doang.”

“Kan lo bisa dapet bagian yang gak harus banyak gerak?”

“Gue tetep gak enak aja Jun. Masa gue cuma bagian buat ppt sedangkan mereka cape-cape turun lapang.”

Jemario menghela napas pelan, “lain kali jangan diulang Di, bahaya. Temen-temen lo juga pasti ngertiin kondisi lo gimana.”

“Atau jangan-jangan lo denger temen-temen lo ngomongin yang enggak-enggak tentang lo ya?” tanya Junio yang berhasil membuat Rendi terdiam dan terkejut bersamaan.

Jemario berbalik menatap Rendi, lalu kembali menatap sepupunya yang masih fokus menyetir secara bergantian, “mereka ngomong yang enggak-enggak tentang lo?”

Rendi tersenyum canggung, “wajar kan?”

“Wajar darimana coba Di? Penyakit itu gak bisa dipermainkan loh, gak bisa dianggap sepele. Bahayanya gede, nilai praktik kelompok doang gak bisa dibandingin sama kesehatan lo. Gue harus bilang sama om Chandra,” ucap Jemario sambil mengeluarkan handphonenya.

“Jem, jangan.”

“Kenapa?”

“Gue gak mau buat masalah. Udah biarin aja, toh guenya juga gak kenapa-napa sekarang.”

Junio memberhentikan mobilnya dipinggir jalan, menghela napas pelan lalu menatap Rendi, “gue paham, mereka semua gak tau kenapa dosen bahkan petinggi kampus ngebatesin tugas lo, tapi kalau lo sampai dipaksa turun lapang gitu, itu udah keterlaluan.”

“Gue gak dipaksa, itu murni kemauan gue sendiri.”

“Paksaan mereka gak secara nyata nyuruh lo secara langsung Di. Tapi ucapan dan omongan mereka dibelakang lo yang secara gak langsung maksa lo.”

“Di, gue tau kita cuma temen yang kenal di rumah sakit. Itupun berkat dokter Tio, tapi gue maupun Junio udah anggep lo sebagai saudara kita. Jadi gue mohon, jaga diri lo Di.”

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang