Rendra membuka pintu ruangan Rendi perlahan, napasnya tercekat kala melihat banyak alat yang terpasang di tubuh kakak kembarnya itu. Keadaan Rendi jauh dari kata baik, Rendra tahu.
Menghampiri saudara kembarnya dengan perlahan, Rendra menatap sendu Rendi yang masih nyaman dengan tidurnya.
Sore tadi dirinya mendapatkan kabar dari Junio kalau Rendi memiliki sedikit perkembangan tapi masih belum ingin bangun dari komanya. Dan Rendra berharap kalau keadaan kakaknya itu akan semakin membaik.
“Ayah sama Bunda sayang banget sama lo, Di. Jadi bangun ya? Kasian mereka sampai harus tidur di sofa gitu,” ucap Rendra pelan sambil melirik kedua orangtuanya yang tengah tertidur.
Rendra menggenggam tangan Rendi, “baru Di, baru aja gue nerima semuanya. Baru aja gue berharap kita bercanda kemarin itu dapat bertahan dalam waktu yang lama. Tapi kenapa sekarang lo malah tidur di sini? Lo pikir bayaran kangen gue sama lo cuma cukup satu hari? Apa kangen lo sama gue kebayar hanya dengan 7 jam kita ngobrol kemarin?”
“Di, lo gak mau bangun? Lo gak mau liat gimana keadaan Jivka? Lo gak khawatir sama dia?” lirih Rendra.
Menahan tangisnya sekuat tenaga, Rendra menatap Rendi dengan tatapan berkaca-kaca. “Lo tau? Lo itu kakak terhebat buat gue ataupun Jivka, Di. Lo hebat karena bisa nahan semuanya sendiri. Lo nahan sakit lo dan berjuang sendiri. Lo hebat, Di. Lo hebat, gue bangga punya kakak kaya lo.”
“Gue akhir-akhir ini sering nanya sama diri sendiri, kenapa lo gak cerita sama gue ataupun Jivka tentang penyakit lo ya? Padahal, gue sama Jivka gak akan nganggep lo lemah hanya karena itu Di, lo seharusnya tau itu. Gue bener-bener nyesel pernah salah paham sama Ayah Bunda karena dia lebih perhatian sama lo daripada gue. Ternyata ini ya alasannya?”
Rendra menghela napas pelan, “andai aja gue bisa tau semuanya lebih awal, gue gak akan ngerasa benci sama lo, Di. Gue nyesel karena kita bahkan gak punya kenangan lebih selama ini, gak punya waktu buat kita habisin bersama. Maafin gue Di, maaf. Maaf udah jadi kembaran yang gak berguna buat lo.”
Sret!
“Ikut saya!”
“Yah..”
Rendra pasrah ketika Chandra menarik dia keluar dari ruangan Rendi, mereka berjalan cepat menuju taman yang ada di rumah sakit.
“Ayah maaf, Rendra gak maksud—“
Grep!
Tubuh Rendra seakan membeku kala merasakan pelukan hangat dari Chandra, Ayahnya.
Pelukan yang selama ini dia harapkan, pelukan yang selalu dia rindukan, dan pelukan yang pertama kali dia rasakan selama hidupnya.
“Ayah…”
“Rendra, anak Ayah. Maafin Ayah, nak.”
Suaranya tercekat, tenggorokannya semakin sakit kala dirinya terus mencoba menahan tangisnya. “Anak Ayah, gue anak Ayah?”
Chandra melepaskan pelukannya, menatap Rendra dan mengusap kepala sang anak dengan lembut. Tatapan Chandra benar-benar memancarkan penyesalan dan kerinduan yang seperti telah lama dipendamnya.
“Maafin Ayah ya Nak. Maaf karena Ayah melupakan kalau kamu juga membutuhkan kasih sayang. Maafin Ayah yang selama ini menelantarkan kamu, maafin Ayah nak. Maaf.”
Rendra menggeleng pelan, “harusnya Rendra yang minta maaf sama Ayah. Maafin Rendra karena Rendra gak ngertiin situasinya.”
“Bukan salah kamu nak, kamu memang tidak tahu situasinya saat itu. Itu bukan salah kamu.”
Rendra menunduk, merasakan kenyamanan saat Chandra masih mengusap kepalanya. “Ayah, Rendra kenapa gak dikasih tau tentang Rendi?”
Usapan dikepalanya seketika terhenti, Chandra menghela napas pelan lalu memegang kedua bahu Rendra. “Bunda, dia yang gak ingin kamu ataupun Jivka tau tentang keadaan Rendi.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Two-R [END]
Fanfiction'The Meaning of the Number 7 for Twins' "Angka 7 itu angka keberuntungan. Dan karena angka 7 gue punya adik kembar. Gue mohon, jangan benci sama angka 7." - Rendi Adipta Wijaya. "Bagi gue, angka 7 itu kesialan. Karena 7 menit sial itu, gue harus lah...