14

285 39 5
                                    

“Jadi, bang Jeffrey sama bang Derren aja gak tau keberadaan Rendra?” tanya Haris yang diangguki Yovan.

Satria menghela napas pelan, “gue chat sama nelpon dia gak pernah ada yang di respon, lo gimana?”

“Sama, setelah dia sidang, dia bener-bener ilang. Gue gak tau kemana,” jawab Haris yang disetujui Yovan.

“Gue khawatir banget sama keadaannya, terakhir kita ketemu dia bahkan gak ada ucapan yang keluar dari dia sama sekali. Mukanya pucet dan pandangannya bener-bener kosong. Gue takut dia kenapa-napa,” ucap Yovan.

Haris menatap Yovan dan mengangguk, “kita juga sama Yov. Setelah denger cerita lo, gue gak yakin keadaan Rendra bakal masih baik-baik aja. Rendra gak akan mudah survive dari semua itu.”

“Yang bikin makin sulit itu, karena semuanya berasal dari keluarganya sendiri. Tepatnya dari dua orang yang harusnya jadi tempat Rendra bersandar dan berkeluh kesah, yang seharusnya jadi orang yang support dia.”

Mereka terdiam, setuju sekaligus sedih dengan ucapan Yovan. Seorang Rendra yang seharusnya mendapatkan support dari kedua orangtuanya malah harus mendapatkan hal yang sebaliknya.

Satria menghela napas pelan, “gue tiba-tiba kepikiran Rendi, lo berdua kepikiran Rendi nya sendiri gimana gak? Sejak beberapa hari lalu dia selalu dateng ke gedung kita cuma buat nanya ada yang liat Rendra atau enggak.”

“Gue sebenernya kasian sama dia, tapi apa yang mau kita bilang? Kita sendiri kan gak tau di mana Rendra,” jawab Haris.

Yovan mengangguk pelan, “sakit gak sih jadi mereka? Yang seharusnya mereka deket satu sama lain dan saling nguatin satu sama lain malah harus terpaksa saling ngejauh.”

“Menurut lo berdua, mana yang lebih nyakitin. Fisik atau mental?” tanya Satria.

Haris berpikir sejenak, “gue pernah denger, katanya penyakit fisik masih bisa diusahakan buat sembuh dengan berbagai cara. Tapi enggak dengan penyakit mental. Bahkan ada yang bilang kalau penyakit mental gak akan pernah bisa sembuh, cuma bisa dikurangin, bukan disembuhin."

Haris diam beberapa saat, menatap sendu makanan di depannya. "Mau semua cara dan semahal apapun penyembuhan itu, penyakit mental gak akan mudah buat sembuh. Bahkan mungkin gak akan bisa.”

“Iya, penyakit mental itu selamanya. Mau senormal apapun dia, kalau mentalnya udah sakit bahkan rusak, hal terburuknya adalah kematian jiwanya,” tambah Yovan.

“Kalau jiwanya udah mati, walau dunia dia udah mulai berwarna juga hasilnya bakal sia-sia. Kasarnya, warna kebahagiaan yang dikasih ke dia itu telat dan percuma.”

Satria menghela napas pelan, “gue harap Rendra enggak. I hope he doesn't give up.”

Yovan menggeleng dan tersenyum, “gue yakin seorang Rendra itu kuat. Dia gak akan mudah buat menyerah selagi mimpinya itu masih belum dia gapai.”

“Dan gue harap dia gak nyerah juga setelah mimpinya udah ke gapai.”

“Enggak mungkin, dia gak mungkin nyerah dan sia-siain mimpi yang udah dia gapai dengan segala usaha yang dia lakuin,” ucap Haris.

Yovan mengangguk setuju, “sekarang kita berdoa aja semoga cepet dapet kabar baik tentang keadaan Rendra.”

Tiba-tiba saja salah satu teman mereka datang, panggil saja Juna.

Juna yang baru saja datang, langsung duduk tepat di sebelah Yovan dan bergabung dengan mereka.

“Tumben sendiri Jun, biasanya sama Yasha,” ucap Satria.

Juna menghela napas pelan, “anaknya sibuk sama dospemnya. Oh iya, gue udah jarang liat Rendra sama lo bertiga. Kemana anaknya?” tanya Juna.

Mereka bertiga saling tatap, bingung mau menjawab bagaimana. Yovan tersenyum kecil sambil menatap Juna yang sedang makan, “sibuk. Tumben lo nanya dia?”

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang