23

355 44 4
                                    

Rendra menyatukan kedua tangannya, terus merapalkan doa untuk kesuksesan operasi yang dijalani Jivka. Menatap pintu ruang operasi dengan tatapan khawatir, bahkan bibir nya sudah memucat.

“Dra, makan dulu ya? Lo belum makan dari kemarin sore,” ajak Junio.

Rendra menggeleng lemah, “gue gak mau ninggalin Jivka.”

“Tapi kalau gini, lo bakal sakit.”

“Junio bener, Dra. Seenggaknya lo makan dulu ya? Operasinya masih satu jam lagi, jangan sampai pas Jivka selesai operasi dia malah ngeliat lo pucet sama lemes gini,” ucap Hazkiel.

Rendra akhirnya mengalah, diapun merasakan tubuhnya semakin lemas. Apalagi semalam dia tidak tidur karena terus menjaga Jivka dan mengobrol dalam dengan adiknya.

“Pendonornya, lo tau siapa Ni?” tanya Rendra pada Junio yang sedang menemaninya makan di kantin rumah sakit.

Junio menggeleng, “gue sempet tanya ke dokter nya, tapi kata dia si pendonor ingin identitasnya disembunyiin dulu buat sementara.”

Huft, kalau gue udah tau siapa orangnya, gue bakal sangat berterimakasih sama dia karena dia udah dengan suka rela donorin matanya buat Jivka.”

Junio mengangguk setuju. “Orang itu pasti baik banget.”

“Iya. Ngomong-ngomong, lo udah ngejenguk Rendi hari ini?”

Junio menggeleng pelan, “tadi pagi gue mau jenguk, sekalian cerita ke orangtua kalian kalau Jivka mau jalanin operasi. Tapi gue cuma ketemu dokter Tio dan dia bilang Rendi belum bisa ditemuin. Orangtuanya juga ngelarang gue ketemu dia.”

“Lo udah cerita kalau Jivka mau operasi?”

“Gak sempet. Bokap kalian keburu nyuruh gue pergi. Gue juga gak enak karena tatapan nyokap kalian tajem banget.”

“Keadaan Rendi sendiri, lo tau gimana?”

Junio menggeleng, “gue nanya ke dokter Tio juga dia kaya gak mau ngasih tau semuanya.”

“Apa keadaannya semakin memburuk ya? Gue takut.”

“Gue yakin Rendi baik-baik aja, Di. Gue sempet ngintip ke kaca di sana, para suster lagi bantu bersihin dan ganti infus Rendi. Kayaknya gue dilarang karena Rendi lagi dibersihin juga dan mau diperiksa.”

Rendra mengangguk pelan, “gue harap gitu.”

“Dra, ada yang lagi lo khawatirin lagi ya selain keadaan Rendi sama Jivka? Mata lo kaya gak tenang,” tanya Junio.

Rendra menghela napas kasar, menatap lurus kearah luar kantin. “Ngedenger ucapan lo tadi yang belum ngejelasin ke ortu gue tentang keadaan Jivka. Gue jadi takut kalau mereka gak khawatir sama keadaan Jivka.”

“Maksud lo, mereka gak peduli sama Jivka?”

“Itu hal yang paling gue takutin saat mikir respon mereka gak ada nanyain keadaan Jivka sama sekali.”

Junio menatap Rendra dan tersenyum, menepuk beberapa kali pundak lelaki itu. “Jangan khawatir, gue yakin sebenernya mereka peduli sama lo ataupun Jivka. Tapi keadaannya tadi belum memungkinkan dan belum tepat.”

“Iya, gue terlalu mikir buruk kayaknya.”

“Oh iya Dra, sejak kemarin temen lo kenapa gak ke sini lagi?”

“Siapa? Cashel?”

“Iya.”

“Gue juga gak tau, tadi pagi gue telponin dia tapi gak dia bales sama sekali. Pesan gue aja gak ada yang dia baca. Gue jadi khawatir sama dia.”

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang