10

371 45 10
                                    

Rendra mengangguk mendengar ucapan dari Jeffrey sejak 30 menit lalu, bahkan dia sampai ingat beberapa kalimat yang terus diulang oleh Jeffrey.

Mahen dan Derren yang sejak tadi ikut mendengarkan malah sudah tertidur pulas dengan tangan mereka masing-masing yang dijadikan bantalan di meja café.

“Bang—,”

“Gue belum beres,” potong Jeffrey.
Rendra mendengus, “ck, ‘jangan terpengaruh, kalau emang lo belum bisa jangan maksain diri.’ You’ve said 17 times now.”

“Hah? Gue?”

“Iya, elo! Siapa lagi? Makannya kalau mau ceramahin gue, coba di bikin dulu narasinya biar gak muter-muter. Lo gak sadar apa? Tuh bang Mahen sama bang Derren nyenyak banget dengerin dongeng lo?”

“Dongeng? JADI DARI TADI LO ANGGEP GUE NGEDONGENG?” teriak Jeffrey membuat Derren dan Mahen seketika bangun karena terkejut. Sedangkan Rendra hampir saja terjatuh dari kursinya jika dia tidak dapat menyeimbangkan diri.

Derren mendengus kesal, “kenapa sih lo Jep?”

“Lo lagi berdua, bukannya ikut ngomongin si Gipta malah ngebo,” semprot Jeffrey membuat mata Mahen membulat sempurna.

“Gue bahkan baru dateng dengan lo yang udah nyeramahin Rendra. And I don’t even know what's the problem here,” protes Mahen.

Derren menatap Jeffrey sinis, “lagian Jep, si Gipta juga gak tolol-tolol amat sampai luluh gitu.”

Rendra menatap Derren protes dengan kalimat yang diucapkan, “ya anjir, jangan di tolol in dong.”

“Emang ada apa sih?” tanya Mahen.

Jeffrey menghela napas, “nyokapnya Gipta tadi dateng ke sini, dia mohon supaya Gipta pulang. Mukanya melas banget, eh taunya pas Gipta nolak, dia marah dan malah ngatain Gipta.”

Rendra menatap kosong kopi di depannya, “gue pikir emang dia udah pengen gue balik, nyatanya itu karena permintaan kembaran gue. Dan gue malah dibilang anak gak tau diuntung. Dia bilang, having me was a mistake,” lirih Rendra di akhir kalimatnya.

Mahen menatap Jeffrey dan Derren bergantian, dan keduanya mengangguk pelan. Pandangan Mahen beralih ke Rendra, “Gipta, are you okay?”

“Bohong kan kalau gue bilang gue baik-baik aja? Rasanya gue pengen cabut kuping gue biar kalimat itu gak terus gue denger. Tapi nyatanya kalimat itu berputer di otak gue, bukan di telinga gue.”

“Gip, lo nyesel karena lo lahir?” tanya Mahen membuat Derren dan Jeffrey langsung meliriknya dengan sinis.

“Hen!” ucap Jeffrey.

“Kalau jawaban seriusnya, iya. Gue nyesel karena gue harus lahir. Mau alasan seindah apapun dunia, tetep aja gue bakal nyesel karena kelahiran gue sendiri. Andai bisa milih, gue lebih baik gak pernah lahir.”

“Lo gak kepikiran buat nyerah sama semuanya kan?” tanya Derren.

“Pernah, gue pernah beberapa kali berpikir untuk nyerah bang. Siapa coba yang tahan. Tapi buat apa? Gue akhirin hidup gue di dunia belum tentu gue di kehidupan setelah kematian bakal bahagia kan? Gak ada jaminan akan itu.”

Rendra menghela napas pelan, “hidup gue emang sakit. Tapi gue masih punya tanggungjawab di dunia. Lagi juga, ada kok yang hidupnya lebih sakit dari gue tapi dia gak nyerah. Jadi kenapa gue harus nyerah?”

“Jangan pernah berpikir buat nyerah ya Gip? Sesakit apapun itu, gue mohon tetep bertahan. Seperti kata lo, mereka yang hidupnya lebih sakit dari lo tetep bisa bertahan, makannya lo juga harus tetep bertahan.”

Two-R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang