21. Ruang Tunggu

332 27 0
                                    

Di dunia yang luas ini, Iqbaal hanya merasa memiliki ibunya. Dari kecil, Rike selalu menanamkan hal-hal baik pada Iqbaal. Meski dicaci tetangga karena menjadi simpanan, meski diusir oleh suami sendiri, Rike berusaha tegar menghidupi Iqbaal. Karena jika ia menangis, siapa yang akan menenangkan putranya?

Pulang ke kampung halaman, merawat Iqbaal seorang diri. Mencari sesuap nasi dengan susah payah. Rike melewati semuanya dengan sabar. Tak pernah ia mengeluh, karena pikirnya, ini adalah akibat dari pilihannya dimasa lalu. Rike tak menyesal bertemu suaminya. Karena suaminya. Rike memiliki Iqbaal.

Itu yang membuat Iqbaal sangat menyayangi ibunya. Demi ibunya, dia menerima tawaran tinggal di Jakarta bersama ayah kandungnya. Agar ibunya yang sakit mendapatkan pengobatan yang layak. Hidupnya lebih baik, tapi kondisi Rike tidak. Lalu sampai pada titik ini, dimana Iqbaal harus kehilangan satu-satunya orang yang menjadi poros hidupnya. Satu-satunya penopangnya, saat ayahnya sendiri berkelakuan buruk padanya. Maka selanjutnya apa? Iqbaal akan hilang arah tanpa sebuah poros, lalu kemudian hilang kendali dan hancur berkeping.

Iqbaal tak bereaksi apapun saat jenazah ibunya diturunkan untuk disemayamkan. Hatinya sudah remuk tak terkira. Berkali-kali airmatanya menganak sungai. Matanya yang sudah sembab, ditutupi kacamata hitam.

Iqbaal sudah akan meledak, meraung meminta ibunya kembali, jika sebuah tepukan tak jatuh pada pundaknya. Tanpa menoleh Iqbaal tahu, tepukan itu berasal dari Karel. Karena itu, Iqbaal kembali menguasai dirinya, tak membiarkan emosi kuat mengendalikannya.

Pelayat satu-persatu meninggalkan area pemakaman setelah pemakaman selesai. Hanya tersisa Iqbaal dan Karel, berdiri disisi kanan makam baru itu.

"Lo masih mau disini?" Tanya Karel.

Iqbaal tak menjawab, hanya menatap gundukan tanah warna coklat yang mengubur mamanya dalam.

"Gue pergi dulu ya," ucap Karel, diakhiri dengan tepukan pelan untuk menguatkan Iqbaal sekali lagi.

Selang kepergian Karel, Iqbaal jatuh bersimpuh. Duduk diatas tanah lembab tanpa peduli jika itu mengotori baju putihnya. Kacamatanya ia lepas, menampilkan mata merah yang sembab. Pandangannya tertuju pada gundukan tanah didepannya. Iqbaal menangis lagi, rintihan yang keluar dari mulutnya terdengar menyakitkan.

"Ma..." Panggilnya lemah. Bahunya naik turun karena tangisannya yang makin keras dan menyesakkan. Disini setidaknya tak ada yang melihat Iqbaal menangis.

***

(Namakamu) menggigit kuku jarinya resah. Bola matanya berputar, pikirannya juga, memikirkan segala kemungkinan yang akan Iqbaal lakukan jika ia datang menemuinya saat ini. Tapi membayangkan bagaimana raut menyakitkan Iqbaal semalam membuatnya tak tenang.

(Namakamu) tak bisa diam diri di rumah, sementara tak tahu kabar Iqbaal saat ini. Setidaknya ia harus memastikan dengan mata dan kepalanya sendiri bahwa Iqbaal baik-baik saja.  Meraih jaket dibalik pintu kamar, dia berlari keluar rumah. Setengah berlari keluar dari komplek sambil memainkan ponsel memesan taxi online. Semua (Namakamu) lakukan dengan cepat, sebab ia benar-benar tak tenang.

Dan benar saja perkiraan (Namakamu), Iqbaal sedang tidak baik-baik saja. Melihat Iqbaal bersimpuh di samping makam ibunya dengan bahu bergetar, (Namakamu) tahu Iqbaal benar-benar kacau.  (Namakamu) melangkah mendekat, memangkas jaraknya dengan Iqbaal, sampai beberapa langkah tersisa agar dia tepat berada di samping Iqbaal, (Namakamu) berhenti. Dia tak ingin menganggu Iqbaal, ia akan memperhatikan Iqbaal dari belakang, menunggu tangis lelaki itu reda.

(Namakamu) mengepalkan tangan, mendengar Iqbaal merintih dalam tangisnya. (Namakamu) berani bertaruh, siapapun yang mendengar tangisan Iqbaal, ia yakin akan menangis merasakan betapa pedihnya hati lelaki itu.

(Namakamu) melangkahkan kakinya semakin mendekat, tapi baru tiga langkah ia berhenti lagi. Berpikir mungkin Iqbaal ingin waktunya sendiri, (Namakamu) berbalik hendak pergi jika tidak ada sebuah tangan dingin yang menahannya.

(Namakamu) menoleh, mendapati Iqbaal yang menatapnya sendu. Ia berbalik, dengan ekspresi gugup (Namakamu) hendak menjelaskan, tapi apa yang Iqbaal lakukan sanggup membuat (Namakamu) berhenti berpikir.

Iqbaal mendekat, lalu menaruh kepalanya pada pundak (Namakamu), (Namakamu) menegang seketika, tak menyangka atas reaksi yang Iqbaal berikan.

"Baal," gumam (Namakamu) gugup.

"Sebentar, sebentar aja," lirih Iqbaal hampir tak terdengar jika Iqbaal tidak berbicara di samping telinga (Namakamu).

(Namakamu) merasakan bahu Iqbaal bergetar. Detik itu juga (Namakamu) sadar, Iqbaal belum menyelesaikan tangisnya, dengan ragu tangan (Namakamu) terangkat, memeluk Iqbaal, menepuk-nepuk pundak lelaki itu berusaha menenangkan. Iqbaal langsung terdiam atas perlakuan (Namakamu), tangannya yang bebas jatuh, kali ini ikut terangkat, melingkar pada pinggang (Namakamu), memeluknya erat.

***

Sepanjang perjalanan hanya ada sunyi diantara mereka. Iqbaal tak bersuara, lelaki itu hanya fokus menyetir dengan kacamata hitamnya.

Di samping kursi kemudi, (Namakamu) menoleh memperhatikan Iqbaal, apa lelaki itu bisa melihat dengan jelas jika memakai kacamata hitam?

(Namakamu) masih bergulat dengan pikirannya, ketika Iqbaal sudah menghentikan mobil karena sudah sampai di depan rumah (Namakamu).(Namakamu) menunggu dalam diam, menunggu apa yang akan Iqbaal lakukan setelah ini, karena melihat gelagat Iqbaal yang seolah ingin berkata sesuatu.

Iqbaal menoleh menatap (Namakamu) dengan tatapan bertanya, saat itu (Namakamu) langsung tersadar, dengan cepat melepaskan seatbeltnya. (Namakamu) keluar dengan cepat sari mobil Iqbaal. Setelahnya menatap mobil Iqbaal yang tak kunjung pergi.

(Namakamu) berbalik mungkin Iqbaal masih ingin menenangkan diri, tapi sebelum (Namakamu) melangkah jauh, suara Iqbaal terdengar keras.

"(Nam)... Tunggu."

Ucapan Iqbaal dengan nada keputusan membuat dahi (Namakamu) mengernyit. Dia langsung menoleh tapi mobil Iqbaal sudah mulai melaju pergi, meninggalkan (Namakamu) ditengah kebingungannya.

"Iyu bukannya mobil kak Iqbaal?"

(Namakamu) menoleh ke asal suara, Abim menatapnya terheran-heran. Matanya mengikuti arah mobil Iqbaal yang melaju.

"Kakak balikan ya?" Tanya Abim dengan nada antusias.

(Namakamu) mengabaikan pertanyaan itu, pikirannya masih larut pada pernyataan Iqbaal tadi. Ia harus menunggu apa?

***

My Annoying BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang