23. Maukah Kamu

359 27 0
                                    

Hampir setahun berlalu. Waktu terus berjalan. Meski hati (Namakamu) memilih diam pada satu orang. Waktu terus berlanjut, (Namakamu) mulai nyaman dengan pekerjaannya. Sesekali memang Iqbaal datang lewat pikirannya. Membuat satu-dua harinya kelabu. Meski begitu (Namakamu) mencoba menjalani harinya seperti biasa. Ia tak ingin berlarut-larut dalam cinta. Ia akan lebih fokus pada karirnya. Lagipula orang itu sudah hilang begitu lama.

Bastian : Serius gak mau dianterin?

(Namakamu) membaca pesan Bastian yang baru saja ia terima via WhatsApp. Bastian semakin gencar mendekati (Namakamu). (Namakamu) tahu lelaki itu menaruh perasaan lebih. (Namakamu) tak merespon juga tak menolak. Bastian terlalu baik sehingga (Namakamu) tak memiliki alasan untuk menolak pria itu. Tapi (Namakamu) juga masih ragu untuk menerima lelaki itu sepenuh hatinya.

(Namakamu) : Gak usah Bas, gue bawa mobil sendiri.

(Namakamu) mengirim balasan pada Bastian. Sebulan lalu, (Namakamu) membeli mobil. Ia gunakan uang pesangonnya, uang tabungan dan beberapa gajinya untuk membeli mobil. Kendaraan itu untuk memudahkan (Namakamu) ke kantor, agar tak selalu menunggu diantar oleh adiknya yang sekarang makin sibuk.

Setelah memastikan pesan terkirim, (Namakamu) menaruh ponselnya lagi kedalam tas di kursi kemudi. Tak lupa memasang mode berkendara pada ponselnya. Setelah itu mulai menghidupkan mobilnya dan melaju pelan.

(Namakamu) menyetir dengan tenang dan pelan. Sebenarnya ia masih sedikit gugup membawa mobil sendiri meski sudah lulus test driving dan mendapat sim-C. Setelah lebih dari tiga kali tes tentunya. Selama mengendarai mobil (Namakamu) tak pernah mengalami kecelakaan kecil pun. Bagaimana akan mengalami jika laju mobilnya hanya 30km/jam. Kadang sampai kendaraan dibelakang akan mengklakson mobilnya yang lamban. Ditambah lagi (Namakamu) yang tak pernah berani menyalip mobil lain. Jangankan menikung, (Namakamu) lebih memilih mengikuti di belakang dengan tenang.

Diingiri lagu K-Pop terkini, (Namakamu) sedikit mengangguk-angguk kepala seirama dengan lagu. Sesekali ikut menyanyi  sampai tak sadar jika dia sudah memasuki parkiran basemen kantornya.

"Semoga kali ini berhasil," ucap (Namakamu) selagi matanya menelititi tempat parkir yang luas dan tak berisi mobil lain. Bukannya apa, (Namakamu) masih sering bingung memarkirkan mobilnya. Kadang mobilnya ia biarkan miring-miring karena memang ia tak bisa memarkir mobil dengan tepat.

(Namakamu) harus menelan rasa kecewa saat tak menemukan tempat parkir luas. Hanya ada satu yang lumayan. Hanya ada satu mobil disisi kanan sementara tempat lain, diapit mobil dikedua sisi.

Pilihan (Namakamu) jatuh pada tempat parkir di samping mobil merah itu. Dengan hati-hati (Namakamu) memundurkan mobilnya. Sebisa mungkin membuatnya pas dengan garis putih tempat parkir.

Brak

(Namakamu) melotot. Kontan dia menoleh dan mendapati ujung mobilnya menabrak sudut belakang mobil abu-abu itu. (namakamu) semakin panik saat suara keamanan mobil itu berbunyi kencang.

(Namakamu) segera memperbaiki cara parkirnya, hingga lumayan benar. Dengan tergesa dia turun dari mobil dan memeriksa apa yang terjadi pada mobil abu-abu itu.

"Aish, sial!" Umpat (Namakamu) saat melihat goresan cukup besar pada bodi mobil itu. Bunyi itu semakin keras seolah memberitahu pemiliknya kalau seseorang sedang melukai mobil. (namakamu) langsung sadar, dia langsung berlari menuju pintu masuk kantor, sebelum pemilik mobil datang.

Tepat setelah (Namakamu) masuk, seorang lelaki berkemeja Navy muncul tergesa. Dia menghampiri mobilnya yang berbunyi. Memeriksa setiap body mobilnya dan tersentak saat mendapati goresan di bagian belakang mobil.

"Kenapa Baal?" Tanya Aldi, orang yang bersama lelaki itu.

***

(Namakamu) membawa flashdisk untuk diserahkan pada ketua tim marketing—Kiky. Setelah menaruh flashdisk itu di meja yang kosong matanya melirik map kuning diatas meja. Segera membukanya.

"Ini laporan gue belum dibaca ya sama pak Kiky?" Tanya (Namakamu) pada rekannya yang berada didekatnya—Salsha. Sejak bekerja disini (Namakamu) semakin dekat dengan Salsha. Sampai berbicara santai dengannya. Seperti seorang teman lama.

"Lo tahu sendiri lah boss kita kek gimana," balas Salsha.

(Namakamu) mendengus sebal. Padahal ia sampai lembur mengerjakan laporannya. "Percuma gue lembur."

Salsha terkekeh, "Pokoknya gimana kerjaan kita, tergantung pada atasan kita," ucapnya sebelum menaruh beberapa kertas diatas meja.

"CV siapa?" Tanya (Namakamu), saat melihat apa yang Salsha taruh. Curriculum Vitae. Yang selalu orang lampirkan pada surat lamar kerja.

"CVnya anggota tim marketing yang baru," jawab Salsha santai.

(Namakamu) menaikkan sebelah alisnya, "Anggota baru? Perasaan tim kita udah sesek deh," ujar (Namakamu). Memang benar tim marketing sudah berisi enam anggota. Menambah dua lagi, maka ruangan ini akan terasa sesak dan ramai sekaligus.

"Ah, kayaknya lo belum tahu deh," ucap Salsha. "Beberapa karyawan bakal di mutasi ke anak perusahaan yang baru," lanjut Salsha.

"Dari tim kita juga dong?" Tanya (Namakamu).

"Sepertinya sih lo sama gue," ucap Salsha.

(Namakamu) mengerutkan keningnya, "Kok... Kok kita?"

"Ini perkiraan gue aja sih. Di tim ini cuma lo sama gue yang jam kerjanya dikit," jelas Salsha.

"Iya sih, tapi... Kenapa gak karyawan baru itu aja yang di anak perusahaan?"

Salsha menghela napas, "Ya gak mungkin (Nam...), Mereka kan masih baru, kinerjanya masih perlu dipertanyakan."

"Kalo gitu kenapa gak senior kita aja? Kinerja mereka gak perlu dipertanyakan," ucap (Namakamu).

Salsha memicingkan matanya, "Mereka udah lama setia kerja disini, gak mungkin mereka yang pindah, lagian (Namakamu) kenapa sih kalo emang kita di mutasi, lo gak suka?"

(Namakamu) mengangguk. Baginya beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang baru itu susah. (Namakamu) malas menjalani fase menyebalkan itu.

"Menurut gue ini gak buruk. Bayangin, di perusahaan baru kita jadi seniornya. Di tambah kita gak bakal ketemu boss seenaknya itu," Salsha menunjuk kursi kosong Kiky dengan dagunya.

(Namakamu) mengerucutkan bibirnya, "Tapi tetep aja..."

***

Sesuai janjinya kemarin, (Namakamu) menerima ajakan makan malam  Bastian karena lelaki itu sedang berulang tahun. Bastian mengajaknya makan berdua di restoran romantis pula. Harusnya (Namakamu) bisa menebak apa selanjutnya. Karena (Namakamu) yang terlalu lama menggantung Bastian. Dan Bastian yang tak mendapat penolakan semakin gencar mendekatinya.

Mata (Namakamu) membulat sempurna saat Bastian mengeluarkan kotak beludru merah dari dalam sakunya. Harusnya (Namakamu) menebak ini. Makan malam romantis, di tempat romantis, musik yang romantis. Suasana romantis. Disini tempat yang tepat untuk melamar seseorang.

(Namakamu) bergerak gelisah saat Bastian menyentuh tangannya. Tangan Bastian dingin, (Namakamu) yakin karena lelaki itu gugup. Mencoba bernapas dengan tenang (Namakamu) meyakinkan dirinya untuk tetap stay di tempatnya sampai ini berakhir.

"(Namakamu), Will you marry me?"

Akhirnya kalimat yang sudah (Namakamu) tebak keluar dari mulut Bastian. (Namakamu) merasakan jantungnya berpacu cepat. Ia sangat gugup saat ini.

Tenang. Tenang

(Namakamu) meyakinkan diri sendiri. Dia harus tenang agar bisa berpikir jernih. Baiklah. Lagipula umurnya sudah dua puluh enam. Itu adalah umur menikah, teman-temannya sudah menikah, apa memang selanjutnya adalah Bastian dan (Namakamu)?

Bastian baik padanya, lembut tapi humoris, juga setia. Yakan? (Namakamu) sudah mengenal baik Bastian sejak bangku perkuliahan. 

Jadi hidup bersama Bastian selamanya tak akan sulit kan?

***

My Annoying BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang