14. Ingatan

2.5K 385 20
                                    

Angin malam ini seharusnya cukup membuat dua orang yang duduk di bangku taman itu merasa menggigil. Sayangnya mereka tidak merasakannya, ralat. Bukannya tidak merasakan, barangkali perasaan itu tertutup oleh rasa yang lain. Sedih misalnya.

"Kita berhenti aja yuk," ucap Iqbaal setelah mereka diam beberapa menit.

(Namakamu) terperanjat, dia menatap Iqbaal penuh tanya. Akankah dia memilih menyerah atas hubungan ini.

"Kita berhenti pura-pura baik-baik aja," lanjut Iqbaal, kali ini ia menatap (Namakamu) dalam.

Satu-satunya respon yang bisa (Namakamu) berikan saat ini adalah mengangguk disertai seulas senyuman.

"Kamu bisa nanya apapun soal aku," ucap Iqbaal.

Mata (Namakamu) menjadi cerah. Kesempatan ini yang ia tunggu. Ia ingin menanyakan banyak hal tentang pria didepannya ini. Setelah apa yang menimpa mereka, (Namakamu) sadar bahwa ia tak sepenuhnya mengenal Iqbaal.

"Oke, soal ucapan Cassie... Kamu... Keluarga...-" (Namakamu) terbata, tak sanggup berkata 'anak haram' seperti yang Cassie sematkan pada Iqbaal.

"Gak apa, ngomong aja," ucap Iqbaal.

(Namakamu) diam, tak mampu mengatakan karena itu akan menyakiti hati Iqbaal, "Waktu kita tetanggaan kenapa kamu pindah?" Tanya (Namakamu). Ia berpikir mungkin dengan ini, bisa membawanya pada cerita Iqbaal yang lebih dalam.

"Waktu itu, istri sah Ayah datang kerumah, maki-maki mama, Ayah gak bisa ngapa-ngapain, Ayah milih pergi sama istri sahnya setelah ngusir aku dan mama."

Iqbaal berumur sepuluh tahun itu menatap amplop tebal yang baru dilemparkan ayahnya ke meja. Menatap mamanya yang kemarin menangis karena Iqbaal mendapatkan luka lebar di pelipisnya. Saat melihat mamanya, Iqbaal tahu ekspresi itu, ekspresi yang tak jauh berbeda dari ekspresi kemarin.

"Pergi jauh dari sini, jangan temui saya lagi, kita akan bercerai."

Bagai tersambar petir, tubuh Rike menegang saat kalimat itu diucapkan suaminya.

"Mas..."

"Kita cerai! Bawa uang itu untuk keperluan kamu, sebagai gantinya jangan pernah muncul dihadapan saya lagi."

Harusnya Rike sudah menduga ini sedari awal. Sejak ia memutuskan untuk mengatakan hubungannya dengan Henry pada istri sah Henry-Dian. Harusnya ia sadar sejak itu, tapi Rike saat itu terdesak untuk bertemu Henry agar mendapatkan biaya pengobatan Iqbaal.

"Kemasi barang-barang kamu, rumah ini sudah saya jual," ucap Henry.

Rike tak bisa berkata-kata lagi, selain memeluk Iqbaal yang menangis dengan erat. Meski malu, ia harus mengambil segepok uang itu, untuk membesarkan Iqbaal, untuk menyekolahkan dia, untuk membuat anak lelaki di pelukannya ini mengerti bahwa yang dilakukan ayahnya itu salah besar.

"Beberapa bulan lalu, ayah nemuin aku dan mama. Ayah ingin aku sama mama tinggal sama ayah," ucap Iqbaal, setelah menyelesaikan cerita masalalunya. "Saat itu aku tahu kalau istri sah ayah udah meninggal," lsnjut Iqbaal.

"Jadi ayah kamu pengen kamu tinggal sama dia karena istrinya udah gak ada?" Tanya (Namakamu).

Iqbaal mengangkat bahunya, "Apapun alasannya gak merubah fakta kalau setelah kami tinggal sama ayah, hidup kami jauh lebih baik."

(Namakamu) mengerutkan dahinya.

"Yah aku tahu, kamu mungkin mikir kami gak tahu malu ikut ayah-"

(Namakamu) dengan cepat menggeleng dan memotong ucapan Iqbaal, "Ah enggak, gak gitu..."

Iqbaal terkekeh, "Aku gak punya apa-apa saat tinggal di Surabaya."

(Namakamu) menatap Iqbaal. Rasanya ia benar-benar tidak tahu Iqbaal yang sebenarnya. Ia hanya mengenal Iqbaal luarnya saja. Dan Iqbaal hanya selalu menampilkan tampak luarnya pada (Namakamu) selama ini.

Iqbaal menatap (Namakamu). Pikirannya berkecamuk. Kepalanya memikirkan berbagai cara agar ia dan perempuan yang ia cintai ini bisa bersama. Apa ia lari saja dengan (Namakamu) dan memulai hidup baru, apa ia lawan saja ayahnya, apa ia curi uang ayahnya dan hidup di pelosok agar tidak dapat dijangkau ayahnya. Berbagai kemungkinan itu terus berputar di kepala Iqbaal.

Tapi Iqbaal harus realistis. Meski memutuskan untuk lari dari ayahnya. Ia mungkin tak bisa bersama (Namakamu). Apa kata orang tua (Namakamu) nanti? Biar bagaimanapun sebuah hubungan tak hanya milik sepasang kekasih, saat memutuskan untuk serius, banyak yang terseret kedalam hubungan itu. Orang tua misalnya.

Biarpun nantinya mereka hidup bersama. Tinggal di pelosok desa. Apa itu menjamin mereka bahagia? Apa jauh dengan keluarga membuat mereka tenang?

Iqbaal tidak mau gegabah, ia tak mau mengambil keputusan disaat ia tak memiliki apa-apa.

***

Melalui pintu berkaca itu, Karel menatap seseorang yang berbaring di ranjang rumah sakit. Kakinya tak beranjak untuk mendekat ataupun menjauh sejak lima belas menit lalu.

Setiap berdiri menatap orang itu, Karel selalu di timpai ingatan-ingatan masa lalunya.

Karel berumur lima belas tahun itu membuka matanya. Samar-samar ia melihat wajah seorang perempuan. Tak jelas wajahnya, pandangan Karel terlalu kabur pasca sadar dari operasi usus buntunya. Yang Karel simpulkan ia bukan mamanya. Sebab perempuan itu berambut panjang.

Saat Karel sepenuhnya sadar ia bertanya-tanya. Siapa perempuan berambut panjang itu. Lalu tiba suatu saat ia melihat seorang wanita berambut panjang berdiri mematung didepan pintu ruangannya. Menatapnya lama dengan senyuman. Tak pernah melangkahkan kakinya masuk, dan Karel tak mampu untuk keluar menemui perempuan itu.

Tiga kali. Karel ingat betul ia menghitungnya. Keempat kalinya ia bertemu perempuan itu juga dirumah sakit. Bedanya perempuan itu sedang berdiri diruang IGD sambil menangis.

Lalu kelima kalinya. Karel melihat perempuan itu berbicara dengan mamanya. Karel memundurkan kursi rodanya, mengikuti arahan mamanya untuk masuk ke ruangannya agar mamanya bisa bicara dengan perempuan itu. Tak jelas mereka berbicara apa. Karel hanya melihatnya dibalik tembok dekat ruangannya.

Yang Karel tahu, Mamanya menangis, perempuan itu menangis, lalu terakhir Mamanya menampar perempuan itu.

Setelah itu Karel mendapatkan jawabannya. Setelah melihat percekcokan mama dan ayahnya didalam ruang inapnya, Karel berjalan mundur tak jadi masuk ke ruangannya. Mematung sambil mendengarkan.

Dari percakapan mereka Karel yang sudah memasuki awal remaja itu cukup paham. Ayahnya berselingkuh. Ayahnya memiliki seorang anak dari perselingkuhannya. Mamanya ingin berpisah. Ayahnya tidak mau berpisah. Ayahnya berjanji akan menceraikan perempuan itu.

Saat Karel tau siapa perempuan yang dimaksud. Karel berlari kencang menuju IGD untuk menemui perempuan itu. Disana ia melihat perempuan itu melangkah pergi setelah mencium pipi anak lelaki yang duduk diatas ranjang.

Di ranjang IGD, seorang anak laki-laki duduk dengan perban membelit dahinya. Laki-laki itu adalah Iqbaal. Dia menatap Karel dengan mata sembabnya. Karel tidak tahu apa yang dirasakannya itu benar, tapi Karel merasa cukup senang saat tahu ia memiliki seorang adik lelaki.

Karel menyentuh kantungnya. Mengambil sebuah snack coklat yang ia beli tapi ia tak bisa memakannya. Ia tak bisa sebab ia baru selesai menjalani operasi. Ia berikan snack itu pada Iqbaal.

Iqbaal tersenyum menerima coklat itu. Karel tersenyum samar. Masih terasa aneh. Iqbaal menoleh, mengambil semangkuk bubur dan menyerahkannya pada Karel. Mereka berbagi makanan dengan senyuman.

Karel dewasa tersenyum mengingat kenangan itu. Hanya sebentar sebab ingatan tangisan mamanya membuat perasaannya berubah dengan cepat.
Setelah cukup memandangi perempuan itu. Karel memutar tubuhnya meninggalkan ruangan itu.

***

Kalian lebih suka ceritanya di update malem apa update siang ? Aku nulisnya lebih sering nulis pagi-pagi ehehehe

My Annoying BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang