Happy reading 💜
***
Iqbaal tahu betul. Cepat atau lambat Cassie akan menariknya untuk bertemu dengan Henry. Seperti saat ini, mereka sudah berada di ruang tamu rumah Iqbaal.
Cassie menatap Iqbaal dengan sudut bibir terangkat. Merasa menang dari lelaki yang mempermainkannya itu.
"Jadi kamu sudah punya pasangan sendiri?" Henry buka suara, setelah meneguk kopi hitamnya.
Iqbaal mengangguk ragu. "Iya yah."
Henry terkekeh, "Sekertaris kamu sendiri kan?" Tanyanya.
Iqbaal mengangguk lagi, "Dia (Namakamu) yah, tetangga waktu kita tinggal di pondok kopi," ucap Iqbaal ragu.
Henry mengangguk-angguk meski dalam hati ia tak peduli. "Siapapun itu ayah rasa sikap kamu gak benar, kamu tahu kan ayah sudah berencana untuk menjodohkan kamu."
Iqbaal menatap Henry, "Iqbaal gak pernah bilang iya," ucap Iqbaal datar.
"Saat kamu memilih ikut ayah ke rumah ini, berarti kamu harus menurut apa kata ayah," ucap Henry seolah mendikte anak kecil.
Iqbaal menatap ayahnya tak percaya. Ah, memang benar sepertinya, sifat seseorang tak akan gampang berubah. "Kenapa ayah gak pernah biarin Iqbaal memutuskan sendiri pilihan Iqbaal?" Tanya Iqbaal, ekspresinya sudah mulai tak ramah.
Henry menyesap lagi kopi pahitnya, "Boleh,"ucapnya. Membuat Cassie terperanjat dan langsung menoleh ke Henry dengan senyum yang sudah luntur.
"Kamu boleh memutuskan pilihan kamu sendiri, tapi silahkan angkat kaki dari rumah ayah," ucap Henry santai. Ucapan itu sukses membuat Cassie kembali mengembangkan senyum remehnya pada Iqbaal.
Iqbaal mengepalkan tangannya kuat. Kalau saja ia tak bergantung pada ayahnya karena sesuatu, kalau saja ia tak membutuhkan ayahnya ia tak akan pernah mau tinggal seatap dengan ayahnya yang kejam itu. Bahkan luka Iqbaal belum kering saat kepergian mendadak ayahnya dulu. Ayah yang ia kagumi mendadak menjadi ayah yang paling ia benci.
"Ini peringatan pertama Iqbaal. Kalau kamu masih berhubungan dengan sekertaris kamu itu, terpaksa ayah akan jauhkan kamu dari dia sejauh-jauhnya." Ucap Henry, dia menatap Iqbaal serius sebelum akhirnya ia melanjutkan, "Kamu tau kan, ayah punya kemampuan untuk itu."
Iqbaal menatap ayahnya yang mulai bangkit dari kursi. Sementara Cassie tampak sangat menikmati pertengkaran ayah dan anak ini. Berkali-kali ia tersenyum penuh kemenangan saat melihat raut permusuhan diantara mereka.
Cassie terkekeh geli saat Henry sudah tak terlihat lagi, dia mencondongkan badannya pada Iqbaal yang duduk bersebrangan dengannya, mereka dibatasi oleh meja.
"Benar ya kata orang, buah jatuh gak jauh dari pohonnya. Ayahnya tukang selingkuh, anaknya pasti juga tukang selingkuh, yakan?" Bisiknya membuat api emosi dalam diri Iqbaal semakin berkobar-kobar.
Sebelum Iqbaal hilang kendali, Cassie sudah lebih dulu melangkahkan kaki anggun keluar dari rumah mewah keluarga Henry.
***
(Namakamu) melirik sekitar. Dia sudah lelah mendengar bisikan tak enak didengar dari teman-teman kantornya. Belum lagi tatapan mencemooh mereka. Semua (Namakamu) dapatkan dengan tiba-tiba, membuat (Namakamu) harus memasang pertahanan paling kuat yang ia bisa.
Steffi berdecak, melihat temannya yang bergerak tak nyaman, "Udah gak usah dipikirin, biar mereka kena azab sendiri nanti di akhirat," ucap Steffi berusaha menghibur. Sejak Iqbaal dan Cassie keluar dari kantor. Steffi tidak melangkahkan kakinya keluar dari ruangan (Namakamu) sama sekali.
"Iqbaal masih belum ngehubungin lo?" Tanya Steffi, mengingat ini sudah sore, dan sebentar lagi sudah saatnya pulang.
(Namakamu) menggeleng lemah. Ia tidak paham lagi bagaimana hubungannya dengan Iqbaal nanti. Tak hanya memikirkan itu, (Namakamu) juga khawatir akan pekerjaannya ini. Cukup susah (Namakamu) mendapatkan posisi ini, bagaimana jika nanti ia dipecat.
Tapi kalau memang begitu, bukannya itu sebuah pelanggaran? Mengapa memecat karyawan yang kerjanya benar hanya karena masalah pribadi? Kalau itu terjadi (Namakamu) mungkin bisa melapor pada lembaga ketenagakerjaan—(Namakamu) menggeleng, itu ide yang buruk. Tidak mungkin ia berkata kalau ia dipecat karena dianggap perebut tunangan orang nanti di lembaga mereka.
Kalau begitu, sudah bisa dipastikan kalau nasib karier (Namakamu) selama empat tahun ini berada di tangan mereka.
"Steffi?" Panggil seseorang dari luar ruangan (Namakamu) yang berdinding kaca.
Steffi terperanjat, menyadari bossnya menghampirinya.
"Mau sampai kapan kamu disitu? Kamu udah gak mau jadi sekertaris saya?" Tanya Karel kesal, karena Steffi yang tidak pernah bisa diam di ruangannya saja.
Steffi terkekeh kaku, "Maaf pak, maaf," ucapnya, sebelum keluar meninggalkan (Namakamu), ia berkata, "Gue pamit ya," ucap Steffi setelah itu dibalas anggukan oleh (Namakamu).
(Namakamu) memeriksa ponselnya lagi, entah sudah keberapa kalinya. Menunggu Iqbaal mengabarinya, banyak pertanyaan yang bergumul di kepala (Namakamu). Tak hanya bagaimana hubungan mereka ke depannya, bagaimana pekerjaan (Namakamu), tali juga (Namakamu) larut dalam pikirannya tentang ucapan Cassie yang berkata bahwa Iqbaal itu anak haram. Bagaimana itu mungkin? Sementara (Namakamu) tahu betul kalau keluarga Iqbaal adalah keluarga yang harmonis. Entahlah mungkin itu kelihatannya saja.
(Namakamu) menggeleng, sampai akhirnya jam kerja berakhir ia sama sekali belum menemukan jawaban atas pertanyaan yang menumpuk di otaknya.
Ketika tiba didepan kantor, (Namakamu) melihat mobil Iqbaal terparkir, tak lama setelah itu ponselnya berdering, sebuah pesan dari Iqbaal yang menyuruhnya masuk kedalam mobil.
Saat masuk dalam mobil, (Namakamu) paham, tak hanya dirinya yang pusing karena masalah ini, Iqbaal tampaknya juga. Itu bisa (Namakamu) simpulkan saat Iqbaal memandang stir kemudi dengan tatapan kosong.
"Baal," panggil (Namakamu).
Iqbaal terperanjat dari lamunannya lalu menatap (Namakamu) dengan senyuman hangat. (Namakamu) tahu, Iqbaal hanya memaksakan diri.
"Mau jalan-jalan sebelum pulang?" Tanya Iqbaal dengan nada suara yang ia buat-buat ceria.
(Namakamu) tersenyum. Ia menatap Iqbaal dengan senyuman lebar, sama seperti Iqbaal. Ia akan berusaha berpura-pura bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa mereka tidak pernah melalui hal berat itu.
Mereka akan berpura-pura. Entah itu sebentar atau lama. Yang mereka tahu, mereka hanya ingin untuk bersama lebih lama.
***
Jangan lupa tekan bintang dan beri komentar guys♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Boss
Fanfiction(Namakamu) benci bosnya! Dia adalah iqbaal, pria menyebalkan dan bermulut pedas. Tapi tanpa (Namakamu) tahu ada maksud berbeda dari semua kalimat pedas Iqbaal padanya. "Saya gak suka warna pakaian kamu, terlalu mencolok bikin mata saya sakit, ganti...