10. Luka Lama

62 11 2
                                    

"Pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pergi." Gadis kecil itu menggeleng kuat. Wajahnya sudah penuh dengan air mata. Ia membawa kepala sang Kakak ke pangkuannya.

"Kakak..." Isaknya terdengar pilu.

"Pergi. Di—sini bahaya." Cia, yang saat itu masih berumur sepuluh tahun menggeleng lagi.

Mata kecil Cia melihat sekitar, disana sudah tergeletak kedua orangtuanya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Cia kecil yang belum mengerti banyak hal, hanya tahu ada orang asing yang tiba-tiba langsung menyerang Ghani yang sedang berkerja di ruang tamu. Haikal yang melihat itu semua di depan mata, tentu saja ingin menyelamatkan sang Ayah. Namun naas, sebuah pisau tajam mendarat sempurna diatas perut Haikal.

"J-jagain Ayah dan Bunda untuk Kakak, ya." Tangan besar itu menggapai wajah mungil Cia. Mengelus pipi sang adik dengan lembut.

"Jaga diri kamu sendiri. Maaf Kakak nggak bisa jagain kamu lagi." Tanpa sadar, pelupuk mata Haikal mengeluarkan cairan bening. Ia tersenyum kecut. Memegang perutnya yang sudah bersimba darah. Seluruh tubuhnya terasa sakit, apalagi hatinya.

"K-kak Haikal sa-sayang kalian." Nafas Haikal mulai tak beraturan, ia memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Sedangkan Cia hanya bisa menangis, bingung harus berbuat apa selain melihat kepergian sang Kakak untuk terakhir kalinya.

Tusukan itu mengakibatkan Haikal meninggal dunia karena kehabisan darah.

"KAKAK!" Nafas Cia bergemuruh. Bulir-bulir keringat dingin membasahi pelipis sampai lehernya.

"Hey, lo kenapa?" Zein datang dari belakang, ditangannya sudah ada nampan berisi susu strawberry dan kue kering. Teriakan Cia tadi terdengar sampai ke belakang. 

Cia memegang telinganya, menggeleng kuat. "Pergi!"

Wajah Zein mengernyit tak mengerti. Ia mencoba berjalan mendekati Cia. "Ini gue, Zein."

"PERGI!" Cia memukul dada Zein dengan brutal saat laki-laki itu mencoba untuk membawa Cia kedalam pelukannya. Zein sama sekali tidak mempedulikan pukulan Cia, toh pukulan gadis itu sama sekali tidak terasa bagi Zein. Niat Zein hanya ingin menenangkan Cia.

Meskipun masih sedikit memberontak, Zein berhasil membawa Cia kedalam pelukannya. Memeluk tubuh mungil yang bergetar itu dengan erat. Tak lupa mengelus punggung Cia dengan lembut.

"Gue disini, Cia. Don't worry." ujar Zein terdengar seperti bisikan. Mengecup puncak kepala Cia dengan lembut.

"Kak Zein.."

Sesak. Itu yang dirasakan Zein saat mendengar suara Cia yang bergetar menahan tangis.

"Nangis aja. Gue temenin." Cia menangis sejadi-jadinya didalam pelukan Zein. Zein yang belum mengerti sebab Cia menangis hanya menunggu gadis itu berhenti menangis. Ia tidak akan memaksa Cia untuk bercerita.

ELZEINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang