Shreya berjalan hulu-hilir di sebuah lorong rumah sakit. Dalam hati gadis itu berharap cemas, menanti kabar sang malaikat hidupnya yang sedang diperiksa oleh dokter. Berulang kali ia juga tampak menggigit kuku jari tangannya. Takut kehilangan akan kembali datang menghampiri.
"Udah, Rey, Tante Amarta pasti baik-baik aja." Javiar berusaha menenangkan Shreya yang sedari tadi tidak bisa diam seperti setrikaan berjalan.
Shreya berhenti. "Kamu gak ngerasain jadi aku, Jav," katanya lirih. Mata gadis itu berkaca-kaca, siap menumpahkan segala tangis yang sedari dibendungnya.
Tak tega melihat kondisi Shreya, Jav pun berjalan mendekat. Tanpa kata, ia langsung mendekap erat tubuh Shreya. Mengelus lembut surai hitam panjangnya.
Berada dalam pelukan Jav, hati Shreya menghangat. Perlahan perasaannya mulai tenang. Isak tangisnya pun kelamaan berhenti. Seakan Javiar dapat menyerap segala resah yang bersemayam dalam diri Shreya.
"Bisa saya bicara dengan keluarga pasien?" sebuah suara disertai dehaman pelan menginterupsi. Membuat Javiar secara perlahan melepaskan rengkuhannya dari tubuh Shreya. Dilihatnya seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan Amarta.
Shreya menghapus air matanya. "Aku Dok," ujarnya dengan hidung memerah. "Aku anaknya," sambungnya lagi.
Dokter itu mengangguk. "Mari ikut saya sebentar," ajaknya, berlalu mendahului Shreya.
Sesaat Shreya menatap sendu Jav yang ada di sampingnya. Lelaki itu tersenyum diiringi sebuah anggukkan kepala, mencoba meyakinkan Shreya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia lantas meletakan dua jari tangannya di kedua sudut bibir Shreya. Lalu menariknya ke atas hingga membentuk sebuah senyuman.
"Senyum. Lo jelek kalau nangis."
* * *
Seorang anak perempuan berlari dengan air mata yang mengalir deras. Hidupnya terlalu rumit untuk anak seusianya. Dia tidak tahu lagi harus pergi ke mana kala rumahnya tak lagi terasa seperti rumah. Rumah yang harusnya menjadi tempat ternyaman itu kini berubah. Baginya, rumah itu hanyalah tempat untuk membuat batinnya tersiksa.
Dia terus berlari dengan kaki kecilnya, tanpa menghiraukan rambut panjangnya yang mulai berantakan. Anak itu berhenti tepat di depan sebuah rumah dengan pagar bercat hitam. Dia mengintip lewat sela-sela pagar, mencari keberadaan orang yang baru saja ditemuinya beberapa saat lalu.
Dengan gemasnya, anak perempuan itu menyusut lendir yang keluar dari hidungnya. Terdengar menjijikan memang, namun tetap gemas karena kecantikan anak perempuan itu mampu menutupinya.
Dia kembali mengedarkan pandangannya. Hingga dia melihat seseorang yang sedang memunggunginya, seorang anak laki-laki yang tengah bermain bola sendirian. Tanpa ragu, gadis kecil itu pun memanggil namanya dengan lantang.
"Javiar!" panggilnya, membuat sang empunya nama menoleh. Anak laki-laki itu cukup terkejut melihat kehadiran Shreya kecil kembali, namun dengan keadaan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Javiar kecil menghampiri Shreya. Dia mengabaikan bola yang baru ditendangnya begitu saja. Dengan tangan mungilnya, ia berusaha membuka pagar rumahnya dengan sedikit kesusahan.
"Kamu kenapa?" tanyanya, masih dengan wajah yang menggemaskan. Shreya kecil kembali terisak, kemudian, tanpa kata dia menghambur ke dalam pelukan Javiar dan menyembunyikan kepalanya di sana.
"Papa ...." Isaknya terdengar memilukan. "Papa pukul wajah mama," lirihnya, masih menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Javiar.
Kala itu, Javiar tidak tahu harus berbuat apa. Yang bisa dia lakukan hanya membalas pelukan Shreya, dan mengelus surai panjangnya dengan tangan kecilnya.
Perlahan, Shreya kecil pun merasa tenang. Dia mulai menghentikan isakannya, dan bernafas normal kembali. Ia melepaskan pelukannya pada Javiar. Membuat Jav dapat melihat mata sembab juga hidung Shreya yang memerah seperti badut.
Javiar tersenyum geli. Dia lantas menarik kedua sudut bibir mungil Shreya ke atas, hingga membuat gadis kecil itu seakan-akan tersenyum, gemas sekali.
"Senyum, Reya," katanya. Membuat mata Shreya kembali berkaca-kaca. Namun dengan cepat gadis itu menghapusnya, dia tidak ingin menangis lagi.
"Makasih," ucap Shreya, di balas anggukkan polos Javiar.
Shreya menjauhkan tubuhnya dari Javiar. Lalu, tidak lama, gadis yang beberapa saat lalu masih menangis itu tiba-tiba tertawa sendiri. Membuat kening mungil Javiar mengkerut bingung. Ada apa dengan anak ini? Pikirnya.
Kemudian, Javiar baru menyadari ketika baju yang dikenakannya terasa basah dan lengket. Lelaki itu menunduk, memperhatikan pakaiannya. Dan betaa terkejutnya ia ketika mengetahui bajunya tampak basah oleh air mata juga lendir dari hidung Shreya.
Javiar menatap Shreya kesal. "Baju aku!" katanya tidak terima.
Cemberut di wajah Jav membuat Shreya menahan tawa. Ia lantas menjulurkan lidahnya ke hadapan Jav. Dengan gemas, Jav pun mengejar Shreya. Akhirnya, mereka pun saling kejar-kejaran mengitari halaman rumah Javiar. Shreya seketika lupa dengan masalah dan tangisan pilunya beberapa waktu lalu. Sesederhana itu.
* * *
"Ma, Mama nggak apa-apa, kan? Nggak ada yang sakit?" tanya Shreya, meneliti sekujur tubuh ibunya.
Beberapa waktu lalu, Amarta sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kabarnya, saat sedang menyetir pagi tadi, Amarta mendadak pusing, hingga mobilnya menabrak mobil pengendara lain. Beruntung tidak ada korban dengan luka serius.
Setelah mengetahui kabar tentang kondisi Mamanya, Shreya langsung bergegas pergi ke rumah sakit diantar oleh Javiar. Dan, sekarang lelaki itu sedang pergi ke luar untuk mencari makan, menyisakan Shreya dengan Amarta dalam ruangan bernuansa putih itu.
"Nggak ada, Sayang, Mama baik-baik saja," balasnya, dengan bibir pucat mengulas senyum manis. Hangat rasanya tiap Shreya bisa melihat senyuman itu.
"Mama kok bisa gini, sih? Kan, Reya udah bilang, Mama jangan terlalu kecapekan. Gini, kan, jadinya," Tasya cerewet. Sedikit menyesal tadi pagi tidak memberi tahu Amarta tentang perasaan tidak enaknya.
"Ini sebenernya yang jadi Mama siapa sih? Kamu atau Mama? Kok malah kamu yang cerewet," canda Amarta.
"Ish, Mama ...." Shreya cemberut. Bibirnya memberengut kesal, membuat gadis itu tampak menggemaskan.
Melihat itu, tawa Amarta mengudara. Tangan wanita itu lantas terulur, mencubit kedua pipis anaknya gemas.
"Kamu kok nggak sekolah?"
"Reya ijin dong, Ma. Masa tahu kabar kalo Mama kecelakaan aku diem aja?"
"Engga pulang lagi ke sekolah? Mama baik-baik aja loh."
"Kalo aku pulang lagi, terus yang jagain Mama siapa?"
"Di sini, kan, banyak perawat, Sayang. Kamu jangan keseringan bolos, ah. Udah kelas 12, loh. Sebentar lagi banyak ujian."
"Iya, Ma, Reya ngerti. Ini yang terakhir. Mama, kan, lagi sakit, mama mungkin aku tinggalin sendiri." Mendengar itu Amarta hanya bisa menghela napasnya panjang. Baik, untuk yang terakhir.
Setelahnya hening menyelimuti. Shreya berulang kali menatap ke arah pintu, menunggu kehadiran Jav yang tak kunjung jua datang beserta makanannya. Berulang kali dia juga menghubungi Jav, namun tak ada satu pun panggilan maupun pesan yang diangkat atau dibalasnya.
Shreya menghembuskan napas kasar. Perutnya sudah berulang kali bersuara minta diisi.
Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar membuat Shreya menatap penuh binar ke arah pintu tersebut, berharap Jav datang dengan kedua tangan yang penuh oleh kantung kresek berisi makanan.
"Permisi." Seseorang mengintip dari balik pintu. Shreya memicingkan mata. Dilihatnya seorang pria mengenakan kemeja biru dongker polos berdiri di ambang pintu. Tak lama setelahnya, bahu gadis itu melorot. Perkiraannya ternyata salah, bukan Jav yang datang.
- Bersambung -
Terima kasih sudah berkenan membaca.
Jangan lupa beri vote dan komentar, karena itu sangat berarti untuk aku 🤗More info, follow
Instagram & TikTok @deardess806
KAMU SEDANG MEMBACA
SHREYA [SELESAI]
Teen FictionShreya tidak menyangka akan disukai oleh Javiar, sahabatnya sejak kecil. Lantas, ketika pernyataan rasa itu terucap, haruskah Shreya menerimanya? Di saat Shreya tidak yakin waktu hidupnya di dunia akan bertahan lama. Copyright ©deardess 2020