Dan di sinilah Javiar sekarang, duduk di salah satu meja kantin rumah sakit bersama Darren yang tengah menikmati secangkir kopi hangat di hadapannya.
Jav berdecak kesal, sedari tadi Darren belum mengeluarkan barang sepatah kata pun, padahal ia sudah menanti segala info tentang Shreya.
"Ck, buang-buang waktu," gumamnya sinis. Masih dapat didengar dengan jelas oleh Darren.
Dareen menoleh. "Lo mau tahu info tentang Shreya apa enggak?" katanya.
"Kalau gue nggak mau tahu, buat apa dari tadi gue diem di sini?" Javiar melirik sekilas jam di pergelangan tangannya. "Oh, sialan! Waktu setengah jam gue terbuang sia-sia," katanya lagi, melirik sinis Darren.
Darren menyeruput kopinya hingga tandas. Kemudian, dia sedikit membenarkan posisi duduknya. "Lo masih sayang sama Reya?"
Kening Jav mengerut, untuk apa Darren menanyakan hal itu kepadanya?
"Lo cuma perlu kasih tahu Reya di mana. Nggak usah tanya-tanya hal lain." Javiar menatap malas Dareen.
"Ya ... oke, padahal gue sebenernya cuman mau ngasih tau kalau Reya juga punya rasa yang sama kayak lo."
Mendengarnya, Javiar terdiam. Telinganya terasa berdengung, seolah yang dikatakan Dareen memang tidak benar.
"Gue nggak bener-bener pacaran sama Shreya," ujar Dareen, menatap Jav dengan pandangan penuh ejekan. "Lo bodoh karena udah percaya hal itu."
Javiar hendak membuka mulutnya untuk membalas ucapan Darren. Namun, baru saja suaranya sampai di tenggorokan, Darren langsung menyelanya, "Soal yang semalam, gue bener-bener berterima kasih sama lo, karena udah ngambil keputusan yang tepat buat bawa Reya ke rumah sakit. Pingsan yang Reya alami itu bukan pingsan biasa. Mungkin ceritanya akan lain, kalau lo nggak cepat-cepat bawa dia ke sini."
"Maksudnya?" Jav mengerutkan kening.
"Sebelumnya lo pernah lihat Shreya mimisan, pusing, atau mungkin lo pernah liat Shreya luka dan darahnya nggak berhenti-berhenti?"
Jav menajamkan ingatannya. Dia memang pernah melihat Shreya mimisan, tapi itu hal yang biasa, bukan?
Jav menganggukkan kepala. "Ya, pernah beberapa kali."
"Dan lo ngiranya Reya hanya mimisan biasa bukan?"
Jav tidak menyangkal ucapan Darren. Dia kembali mengangguk untuk membenarkan.
Darren tampak menghembuskan napasnya kasar. "Lo salah, Javiar. Shreya sakit."
"Sebelumnya gue pernah beberapa kali lihat dia di rumah sakit ini. Setiap gue tanya, dia selalu ngasih alasan, dan dengan bodohnya gue selalu percaya dengan semua alasan yang dia buat. Nggak tahu aja kalau sebenarnya Shreya lagi sembunyikan sesuatu dari kita semua."
"Sampai akhirnya, gue tahu satu satu kebenaran kalau Shreya sakit, leukimia."
Mendengarnya, kedua bola mata Javiar membulat sempurna. Detak jantung lelaki itu terasa berhenti bersamaan dengan rotasi waktu di sekelilingnya.
"Leukimia?" tanya Jav tidak percaya. Suara lelaki itu bahkan terdengar bergetar.
Dareen menganggukkan kepala.
"Lo jangan bercanda. Sejauh ini Reya kelihatan baik-baik aja." Javiar berusaha menyangkal semua kenyataan yang ada.
Dareen menggelengkan kepala. "Nggak seperti yang lo kira. Shreya memang kelihatan baik-baik aja di hadapan semua orang, karena dia berusaha nyembunyiin penyakitnya. Shreya sayang sama lo, Jav," lirihnya di akhir kalimat
"Tapi ...." Javiar masih belum dapat menerima semua fakta ini.
"Dia bohong tentang perasaannya yang di ungkapin ke lo. Dia tahu penyakitnya itu bukan penyakit biasa. Shreya juga sengaja ngejauh dari lo, karena dia nggak mau buat lo khawatir, dia nggak mau lo menderita disaat mungkin hal buruk akan terjadi sama dirinya sendiri."

KAMU SEDANG MEMBACA
SHREYA [SELESAI]
Novela JuvenilShreya tidak menyangka akan disukai oleh Javiar, sahabatnya sejak kecil. Lantas, ketika pernyataan rasa itu terucap, haruskah Shreya menerimanya? Di saat Shreya tidak yakin waktu hidupnya di dunia akan bertahan lama. Copyright ©deardess 2020