10. Pergi

682 90 44
                                        

"Operasinya berjalan lancar, pasien akan segera dipindahkan ke ruang intensif. Hanya saja, kondisinya masih belum stabil, pasien juga belum sadarkan diri. Kesempatan hidupnya ada dalam diri pasien. Jika dia bisa bertahan, maka kondisinya akan cepat pulih. Meskipun belum sadar, usahakan untuk selalu mengajak pasien berbicara. ucapkan kata-kata penyemangat, itu bisa membuat pasien terangsang dan memiliki kesempatan besar untuk hidup," jelas Dokter Andreas.

Shreya menghembuskan napas lega. Setidaknya kekhawatirannya bisa sedikit jauh lebih berkurang sekarang.

"Terima kasih, Dokter. Terima kasih banyak."

Dokter Andreas mengangguk dengan senyuman, sebelum akhirnya ia melenggang pergi.

"Ma?" Shreya menyapa sambil menggenggam lengan Amarta. Saat ini, dia sudah berada di ruangan Amarta, meski tidak boleh banyak orang yang masuk.

"Mama harus kuat, Mama nggak boleh tinggalin Reya."

"Reya nggak mau kehilangan Mama, karena Reya sayang sama Mama, satu-satunya orang yang Reya punya di dunia ini, Mama nggak boleh pergi, Mama harus sehat."

"Reya janji nggak akan benci papa lagi, asal Mama cepet sadar dan hidup bareng Reya lagi. Mama sayang, kan, sama Reya? Kalau Mama sayang, Mama harus buka mata Mama." Shreya melirih. Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata, dan berjatuhan membasahi pipi.

"Mama harus bangun ... katanya mama mau lihat Reya wisuda, katanya mama mau liat Reya jadi anak sukses. Kalau Mama gini terus, gimana cara agar bisa lihat Reya nya, Ma? Mama harus kuat, Reya yakin Mama bisa. Mama nggak boleh nyerah."

Tak lama, Shreya keluar dari ruangan Amarta dengan mata sembab nya. Tante Zara siap siaga di depan ruangan langsung merengkuh Shreya ke dalam pelukannya. Menyalurkan segala kekuatan untuk Shreya.

"Udah, Reya jangan sedih lagi. Tante yakin, Mama kamu pasti kuat," ujarnya. Yang mendapat anggukan lemas Shreya. Berat rasanya, tapi dia harus tetap meyakini bahwa Amarta akan baik-baik saja dan bisa melewati semuanya.

Zara mengurai pelukannya. Wanita itu mengusap air mata yang kembali luruh di kedua mata Shreya.

"Sekarang kamu sarapan dulu, ya? Biar Tante yang jagain Mama kamu di sini," titah Tante Zara, namun Shreya menggeleng lemah. Dia tidak mau meninggalkan Amarta.

Zara menghela napas. "Reya, bagaimana pun juga, kamu harus tetep jaga kesehatan. Kamu belum makan apa-apa dari semalam, Sayang. Mama kamu pasti sedih kalau lihat kamu kayak gini. Sekarang makan dulu, ya? Biar Tante yang ganti jaga Mama kamu di sini." Zara mencoba memberi pengertian. Pada akhirnya Shreya mengangguk pasrah. Gadis itu berjalan menuju kantin rumah sakit untuk mendapat barang sesuap saja makanan.

* * *

Pagi-pagi sekali, Jav yang beberapa hari terakhir berada di rumah neneknya, di Semarang, kembali datang ke Jakarta. Semalam, dia mendapat kabar tidak mengenakan dari Shreya. Katanya, ibu gadis itu dilarikan ke rumah sakit, membuat dirinya khawatir, karena Amarta sudah seperti ibu kandungnya sendiri.

Sepanjang perjalanan, pikiran Jav tidak bisa berhenti untuk memikirkan Shreya. Sejak semalam, setelah memberinya kabar, gadis itu malah tidak bisa dihubungi. Membuat Javiar semakin khawatir hal buruk terjadi pada gadis itu.

Sesampainya di Jakarta, Jav memutuskan untuk langsung pergi ke rumah sakit ditemani kedua orang tuanya.

Shreya yang baru selesai sarapan langsung bergegas kembali ke ruangan Amarta. Dia tidak bisa tenang meninggalkan mamanya berlama-lama.

Sesampainya di ruangan Amarta, netra mata Shreya langsung menemukan keberadaan Zara, Javiar, beserta kedua orang tuanya. Kening gadis itu mengkerut dalam, semakin merasa bingung karena melihat ketegangan dalam raut wajah mereka.

"Mama nggak apa-apa kan, Tan?" Shreya bertanya kepada Zara.

Wanita itu menggeleng pelan, lalu tangannya bergerak merengkuh tubuh Shreya.

"Mama kenapa, Tan?" Perasaannya mulai tidak enak. Terlebih ketika ia melihat Dokter Andreas memasuki ruangan Amarta dengan tergesa.

"Dokter!" Shreya memanggil, namun tidak menghentikan langkah Dokter Andreas. Ada nyawa pasien di dalam sana yang harus ia selamatkan.

Shreya memberontak. Ia ingin melihat kondisi Amarta, namun tubuhnya di dekap erat oleh Zara. "Biar dokter memeriksa Mama kamu dulu," katanya, membuat tubuh Shreya sedikit lebih tenang.

Shreya merasakan hari buruk itu. Hari di mana dia melihat Dokter Andreas beserta para perawat yang lain menangani Amarta. Dia cukup dewasa untuk tahu bahwa kondisi Amarta sedang tidak baik-baik saja.

Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Shreya. Pipinya yang beberapa saat lalu baru kering itu kini kembali basah. Shreya menangis dengan isak yang berusaha ia tahan dengan tangannya sendiri. Takdir apa ini, Tuhan? Apa yang sedang Engkau rencanakan?

"Tante ...." Shreya terisak dalam dekapan Zara.

"Stt ... kita berdoa, Sayang. Mama kamu pasti baik-baik saja. Pasti." Tangan Zara mengelus surai Shreya dengan penuh kasih sayang. Tidak bisa dipungkiri, bahwa di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia juga merasakan kesedihan yang tengah Shreya rasakan.

Selang beberapa saat kemudian, Dokter Andreas keluar dari ruangan. Pria berjas putih itu datang menghampiri Shreya dengan kepala tertunduk dalam.

"Kami tim dokter di rumah sakit ini sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi semuanya ada pada kehendak Tuhan. Senin, tepat pukul 8 pagi, pasien dengan nama Amarta dinyatakan meninggal dunia."

Kaki Shreya melemas, gadis itu membekap mulutnya sendiri untuk menahan isakan. Siapa pun, tolong katakan bahwa ini semua hanyalah mimpi. Shreya tidak akan pernah sanggup jika ini benar-benar terjadi.

Sejak hari itu, hidup Shreya terasa seperti tidak berarti. Warna-warna yang dalam setiap harinya memudar, digantikan hitam dan putih yang beradu dengan tangis air mata.

Shreya terjatuh. Mengapa semesta membuat takdir hidupnya seperti ini?

Setelah kehilangan sosok ayah, mengapa Tuhan kembali menguji dirinya dengan mengambil Amarta untuk selama-lamanya? Kenapa dunia sejahat ini?

Shreya merasakan lututnya melemas. Dia merasa tidak sanggup untuk menanggung bobot tubuhnya lagi.

Tidak terbayang hidupnya di hari esok akan seperti apa. Dia sudah tidak punya siapa-siapa. Membuat dirinya ingin mati dengan lebih cepat. Percuma terus bertahan jika yang ada hanya rasa sakit dan sakit. Dirinya rindu bahagia, tapi semesta tidak pernah mengijinkan Shreya merasakan hal itu.

- Bersambung -

Terima kasih sudah berkenan membaca.
Jangan lupa beri vote dan komentar, karena itu sangat berarti untuk aku 🤗

More info, follow
Instagram & TikTok @deardess806

SHREYA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang