20. Patah

544 70 8
                                    

Mbak Rida terisak di depan salah satu ruangan rumah sakit. Sejak melihat kondisi Shreya yang terakhir, wanita paruh baya itu selalu menitikkan air matanya.

Ia sangat mencemaskan kondisi Shreya, yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri. Oleh sebab itu, ketika melihat Shreya tidak berdaya, Mbak Rida selalu ketakutan. Dia tidak mau kehilangan Shreya.

Javiar yang saat itu masih berada di rumah Shreya tidak tahu apa yang terjadi. Ketika Mbak Rida berteriak meminta pertolongan, Jav berlari, memasuki kamar Shreya dan melihat kondisi gadis itu yang sudah terkapar. Tanpa banyak kata, Jav langsung mengangkat tubuh Shreya, membawanya keluar rumah dan meminta Pak Jo untuk mengantarnya ke rumah sakit.

"Dengan keluarga pasien?" tanya seorang dokter. Keluar dari ruangan setelah memeriksa kondisi Shreya.

Javiar dan Mbak Rida mengangkat kepala. Sesaat, wanita itu tampak mengusap linangan air matanya.

"Saya asisten rumah tangganya. Papanya Non Reya lagi di perjalanan mau kesini, Dok," balas Mbak Rida.

Dokter itu tampak mengangguk, dia kemudian menitip sebuah pesan kepada Mbak Rida. "Nanti kalau beliau sudah datang, langsung saja suruh ke ruangan saya, ya."

"Iya, Dok, nanti saya sampaikan."

Setelahnya, dokter itu pun pergi, meninggalkan Mbak Rida dengan segala keresahan dalam hatinya.

* * *

Tama, Papa Shreya datang tergesa didampingi seorang pria bertubuh kekar. Ketika Tama tiba di depan ruangan yang ditempati Shreya, pria paruh baya itu langsung memberondongi Mbak Rida dengan banyak pertanyaan.

"Bagaimana keadaan Reya? Kenapa bisa seperti ini? Dia baik-baik saja, kan?" kelakarnya.

"Reya di dalam, Pak. Saya juga nggak tau kenapa Non Reya bisa pingsan. Tadi saya niatnya mau nawarin Non Reya makan, eh yang saya lihat malah Non Reya nggak sadarkan diri."

Tama terdiam. "Shreya belum makan?"

"Tadi pagi sarapan, Pak. Tadi baru pulang sekolah."

Tama tampak menghela napas berat. Bohong kalau dia tidak mengkhawatirkan kondisi putrinya.

Mbak Rida menggigit bibir. Wanita paruh baya itu menatap Tama ragu-ragu. "Bapak tadi disuruh ke ruangan dokter," ujarnya kemudian.

Tama menolehkan kepala sekilas, setelahnya dia lantas mengangguk. "Nanti saya ke sana," katanya, "mau lihat kondisi Reya dulu."

* * *

Setelah berbincang dengan Dokter Andreas, Tama memutuskan untuk pergi menemui putrinya, dan ternyata Shreya sudah sadarkan diri dengan selang infus tampak tertancap di tangannya.

"Kok kamu nggak bilang sama Papa?" tanya Tama saat pertama kali kakinya memasuki ruangan.

Shreya yang tadinya sedang melamun kini mengalihkan atensi kepada Tama. Gadis itu tampak menatap Tama bingung.

"Maaf, Pah," lirih Shreya ketika melihat raut kecewa di wajah Tama. "Reya cuman nggak mau buat Papa dan yang lainnya khawatir."

Tama menghembuskan napasnya kasar. "Shreya, justru dengan kamu menyembunyikan semuanya seperti ini, itu semakin buat Papah khawatir."

Shreya terdiam. Dia menundukkan kepala dalam-dalam. Entahlah, dia harus merasa senang atau sedih sekarang, karena sebelumnya dia belum pernah merasakan khawatirnya seorang papa.

"Papa mau kamu sembuh, gimana pun caranya," tekan Tama. "Papa nggak mau kehilangan kamu lagi." Tama lirih, membuat kedua mata Shreya berkaca-kaca.

Shreya meremat jari jemarinya di atas paha. Gusar dia rasakan dalam hati.

SHREYA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang