Malam harinya, Shreya sibuk mengerjakan latihan soal-soal fisika di ruang rawat inap mamanya. Dia sengaja membawa tugas-tugas beserta seragam sekolahnya ke rumah sakit. Katanya sih dia ingin menjaga mamanya yang masih dirawat, padahal sudah ada Mbak Rida yang menjaga.
Berulang kali Shreya berdecak kesal karena tak kunjung menemukan jawaban yang tepat. Gadis itu menggerutu, membuat sang mama yang berada tak jauh darinya tersenyum kecil.
"Kalau pusing udah dulu aja, jangan terlalu dipaksain. Kasian otak kamu itu," ucap Amarta.
Shreya menyimpan kasar pulpen dalam genggamannya. Dia lantas merebahkan tubuhnya di atas kursi, lalu mulai memejamkan matanya secara perlahan. Kepalanya masih bergejolak, penuh dengan berbagai macam rumus juga deretan angka.
"Ma, kepala Reya rasanya nyud-nyudan gitu," ucap Shreya masih dengan mata yang terpejam.
"Mana sini, biar Mama pijitin," ucap Amarta. Namun, Shreya masih bergeming di tempatnya.
"Nggak usah deh, Mama istirahat aja biar cepet sembuh dan bisa pulang ke rumah. Aku dipijitin Mbak Rida aja."
"Mbak, tolong pijitin Reya, dong." Shreya meminta, membuat Mbak Rida dengan sigap memijit kepalanya.
"Sana, coba kamu keluar sebentar, refreshing cari angin. Biar nggak sumpek pikirannya," saran Amarta.
"Kemana dong, Ma? Nggak ada temen juga, masa jalan-jalan sendirian? Nggak seru banget," ucap Shreya tanpa membuka kelopak matanya.
"Makanya cari pacar, kerasa, kan, kalau kayak gini," kata Amarta bermaksud mengejek putrinya.
"Ck." Shreya berdecak. "Mama, mah, kemaren larang-larang Reya buat pacaran. Sekarang kok malah gini?" ucapnya.
"Ya setelah dipikir-pikir, toh kamu juga udah dewasa. Nggak ada salahnya menikmati masa muda. Pacaran boleh, asal jangan kelewatan batas," kata Amarta, "Banyak kan tuh, anak muda jaman sekarang yang hamil duluan di luar nikah. Mending kalau cowoknya mau tanggung jawab, gimana kalo nggak? Masa depan hancur, jadi aib pula buat keluarga. Pacaran tuh sewajarnya aja. Dulu, nih, waktu jaman Mama masih muda, mau pegangan tangan aja rasanya mau lompat dari gedung pencakar langit, takut."
"Euh, bener pisan si Nyonya, mah. Banding jauh sama sekarang. Kemarin Mbak lihat berita di TV, Anak SMA udah berani ciuman. Mana di tempat umum lagi. Ih, riskan lihatnya juga," ucap Mbak Rida, membuat Amarta dan Shreya tersenyum geli.
"Mama sama Mbak Rida tenang aja, Reya nggak gitu. Yakin, deh, gaakan kecewain kepercayaan Mama." Amarta mengulas senyum. Dia percaya dengan perkataan putrinya.
Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar. Membuat Amarta menoleh dan tersenyum mendapati Javiar berdiri tegap di ambang pintu. Berbeda dengan Shreya, gadis itu masih tetap memejamkan matanya menikmati pijatan Mbak Rida. Dia sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Javiar.
Jav berjalan masuk ke dalam ruangan dengan satu tangan yang mejinjing buah-buahan. Dia menyimpan buah tersebut di atas nakas dan pergi mencium punggung Amarta.
"Tante gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, Tate sudah baikan, malah ini sudah sangat jauh lebih baik," ucap Amarta.
Javiar tersenyum, "Syukur deh, Javiar minta maaf ya, Tan, baru bisa jenguk lagi sekarang."
"Ah kamu kayak ke siapa aja, Jav," ucap Amarta. "Kata Reya, kemarin kamu ikut turnamen futsal, ya?"
Javiar tidak langsung menjawab, lelaki itu malah melirikkan matanya ke arah Shreya yang masih dipijat Mbak Rida dengan mata tertutup rapat.
"Ia, Tante, mewakili sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHREYA [SELESAI]
Teen FictionShreya tidak menyangka akan disukai oleh Javiar, sahabatnya sejak kecil. Lantas, ketika pernyataan rasa itu terucap, haruskah Shreya menerimanya? Di saat Shreya tidak yakin waktu hidupnya di dunia akan bertahan lama. Copyright ©deardess 2020